Rabu, 02 April 2014

JODOH SANG JOMBLO ( BARU BAB I SAMPAI IV )


Jodoh?
Berbicara tentang jodoh, pasti semua orang sepakat kalau “hal” itu adalah rahasia Tuhan. Apalagi bila mendiskusikannya dengan para single di dunia. Mereka akan sepakat mengatakan bahwa jodoh adalah pasangannya yang belum ditemukan, takdir Tuhan yang belum sempat mereka lihat, tulang rusuk yang masih berada dalam kotak rahasia kehidupannya. Semua kerahasiaan itu membuat mereka merasa terhibur walaupun di hati mereka timbul keinginan untuk segera menemukan belahan jiwa mereka secepatnya.
Orang tua jaman dulu berkata kalau “jodoh itu jorok”. Bukan berarti jodoh kita adalah seseorang yang jarang mandi, kucel, dekil, ga bisa dandan, bajunya ga pernah ganti setahun atau seabreg kejorokan lainnya. Tentu saja bukan. Yang dimaksud jorok di sini adalah kita akan bertemu dengan jodoh kita dalam kondisi apapun, seburuk apapun situasinya, dan se”tidak menyenangkan” apapun tempatnya. Bisa jadi kita menemukan jodoh kita saat sedang berkunjung ke tempat saudara, pengajian, pesta kondangan, atau bisa jadi kita menemukannya saat sedang menyeberang jalan atau di toilet umum misalnya. Huah… itu bukan hal yang tidak mungkin kan? Bahkan kakak sepupuku menemukan jodohnya via telepon yang bahkan tidak membuat mereka mampu berbicara sampai durasi sampai lima menit. Ketika sang lelaki tak sengaja mendengar suaranya via telepon ia jatuh cinta dan akhirnya minta diperkenalkan kepada sahabatnya (yang seharusnya ia telepon). Hanya beberapa bulan bahkan minggu, akhirnya sampailah mereka dalam bahtera rumah tangga bernama pernikahan. Hm.. that’s amazing! Right? Percayakah kalian kalau sekarang mereka sudah mempunyai 6 anak? setiap ada jeda beberapa bulan setelah kelahiran anak mereka, sang istri sudah mengandung kembali. Haha. Subur.
Dan di sini aku tidak akan menceritakan lebih lanjut kehidupan harmonis mereka, aku akan sedikit membubuhkan cerita-cerita nyata ke dalam satu cerita fiksi yang akan kutulis,  mudah-mudahan dapat disukai oleh pembaca semuanya. Cerita tentang pertemuan, pernikahan, dan mungkin hingga membina rumah tangga. Walaupun secara pribadi aku belum pernah merasakan membina rumah tangga secara langsung.
Oke cekiibroot……… J

Bab Satu (pertemuan)
Clak..
Hmm kok kayaknya hujan ya,
Aku yang sedang asyik membaca buku di sekitar masjid kampus terganggu aktivitasnya disebabkan oleh tetesan air yang tak sengaja sampai di sebagian rok ku. Rasa-rasanya air dingin ini benar-benar menusuk sampai kulit kakiku. Posisi duduk yang sedang bersila ini pun harus rela ku selonjorkan sambil tetap mendongak ke atas. Masa iya bocor gentengnya. Namun apa dikata, tangan yang berusaha meresapi air hujan yang tadi menetes tak juga merasakan basahnya. Yang kutemukan hanya cicak yang sedang sibuk kejar-kejaran ala film India dengan nyamuk nakal, makanannya untuk malam ini. Lidahnya yang terjulur tampak kesal karena tak segera menangkap mangsanya. Membuatku sedikit melengkungkan sudut bibirku ke atas. Hm. Bahkan binatang sekecil itu harus berburu menjemput rejekinya dengan berpeluh keringat, walau aku tak pernah benar-benar tahu bentuk keringat cicak seperti apa. Jelas saja, cicaknya ga pernah kelihatan basah di leher atau ketiaknya. Gimana bisa tahu. Hm kira-kira kalau cicak keringetan gimana bentuknya yah, apa sama-sama bau kayak manusia? Atau lebih bau lagi? Oh iya aku gak pernah ngendus cicak, baunya kayak apa ya? Oh iya semut juga kayaknya ga ada keringetnya deh. Tapi…
Deg. Seketika aku tersadar, kulirik rok berwarna cream yang kukira tadi kena tetesan air hujan. Dahiku merengut, mulutku terbuka. Tanganku melebarkan rok yang terkena kotoran nista tersebut. CICAK KEPARAT.
“Ariniiiiiii… huaaaaa!!” aku berteriak saat melihat Arini temanku berjalan setelah melaksanakan kewajiban Isyanya. “Cicaknya pup di rok aku nih! Padahal roknya baru dipake tadi sore….” Kupeluk lengan Arini yang berwajah innocent yang sedang bingung dengan tingkahku. Beberapa detik kemudian raut wajahnya berubah, seulas senyum tiba-tiba muncul di bibir penuhnya. “hahahahah…..” dia tertawa. Sial. Bukannya menghibur.
“Cicaknya demen sama kamu kali…. Hihihi” Arini masih memegang perutnya saat melihat wajahku merengut tak suka melihat candaannya.
“Nih buat kamu nih!!” aku mendekat-dekatkan rokku yang terkena kotoran cicak tersebut ke arahnya, refleks dia menjauh, dahinya mengernyit tak suka. “ih najis..tau”. Melihat reaksi Arini, aku tergoda untuk melakukan aksi kejar-kejaran seperti yang dilakukan cicak dan nyamuk beberapa menit lalu. Kejar-kejaran ala Tom and Jerry pun berlangsung, aku dan Arini yang sibuk lomba cepat-cepatan memakai sepatu kemudian setengah kejar-kejaran menjauhi masjid yang tadi kami pakai untuk sholat. Hm tepatnya Arini, karena aku sedang tak sholat. Semuanya berlangsung alami, kami memang seperti anak-anak saat bercanda seperti ini. Kampus yang sudah sepi saat malam menjelang selalu dijadikan tempat menyepi bagi aku dan Arini karena kost-an kami yang berada dekat kampus.  Aksi kejar-kejaran itu pun berlangsung ke adegan cubit-cubitan. Arini mencubit pinggangku dan lengannya tak kalah liar kucubit. Sungguh, image yang kami (tepatnya Arini sih, aku enggak) punya sebagai cewek tenang dan anggun sirna saat kami sedang berdua. Balasan cubitan itu sudah siap kuterima dari Arini sebelum kemudian ia menyadari sesuatu dan menghentikan aksinya lalu berdehem. Aku yang belum sepenuhnya memahami sikap Arini tertawa sambil melakukan gerakan melangkah mundur. Khawatir kalau Arini akan melaksanakan serangan tiba-tibanya. Dan adegan itu terjadi.
Adegan yang pernah kutonton dalam film-film India sewaktu aku kecil. Wanita, tepatnya diriku ini tanpa sengaja menubruk sesuatu yang keras di belakangku, dan keseimbangan pun hilang, berganti menjadi adegan yang dijadikan bukti teori gravitasi Einstein saat melihat apel jatuh dari pohon. Bila diibaratkan, apel itu aku,  yang jatuh menempuk sesuatu yang hm cukup nikmat saat kutimpa. Tak ada lantai ubin yang keras yang menghantam tubuhku. Justru sebaliknya, aku merasakan tubuh manusia menahanku agar tidak terlalu semangat menindihnya. Garis bawahi HAMPIR MENINDIH. Dan ini harus dimasukkan ke dalam daftar hal-hal memalukan dalam hidup yang pernah kualami.
Refleks aku berbalik. Melihat siapakah manusia baik hati yang rela menahan tubuhku untuk tidak terjatuh lebih dalam ke ehm, pelukannya, walaupun pada akhirnya bukan pelukan yang kudapat, tetapi seseorang yang berusaha untuk tidak memelukku tapi tetap menahan tubuhku. Sikunya sebelah kiri menahan tubuhnya agar tidak menempel ke tanah dan tangan kanannya memegang pundakku. Aku memegang kedua lututnya yang tertekuk, kaget dengan aksi menegangkan tersebut. Pandangan kami bertemu, mengirimkan sinyal-sinyal cinta lewat mata hingga sampai di muara bernama hati, debaran itu terjadi, aku tersipu. Seketika manusia-manusia berkostum India muncul satu-persatu dari balik pohon sambil menari-nari, pundaknya bergoyang seirama pantatnya mengelilingi kami yang sedang berpandangan. Lagu kuch-kuch hota hai pun mengalun.
Oke, ini bercanda. Itu hanya khayalanku yang terkontaminasi film yang seharusnya tidak kutonton waktu masih abege tersebut. Kejadian yang sebenarnya tidak seperti itu, aku berpandangan dan wajahnya mendekat, tiga sentimeter kurasa, sedekat itulah jarak kami sekarang, wajahnya semakin maju, sedikit demi sedikit, aku hanya diam mematung, tak tahu harus mundur atau bahkan maju karena kesal terhadap lambanya ia bersikap. Memangnya ini adegan slow motion?. Lama amat! Hingga akhirnya jaraknya hanya tinggal sedikit sekali antara kami, lebih dekat dari yang tadi.. kami pun berci..berci..
STOP! Jangan biarkan otak kotorku ini menguasai tubuhku lagi. Biarkan ia berpikir dengan waras dan benar.
Astaghfirulloh.. aku beristighfar dalam hati, berharap tidak ada khayalan nista itu lagi yang berkelebatan di otakku walau hanya satu detik. Aku  menggelengkan kepalaku menyadari kalau lelaki yang tak sengaja kutabrak itu sudah berdiri menepuk-nepukan pantatnya yang kukira kotor karena peristiwa jatuh tadi. Arini yang kaget dengan kejadian itu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menunduk. Wajahku panas. Memalukan. Bahkan di saat-saat gawat seperti tadi sempat-sempatnya aku memikirkan hal tak pantas.
“Kamu ga papa?” Arini menyahut, memecah kekakuan yang terjadi.
“Ehm. Engga..” kulirik pria itu, dia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang tidak sempat kulihat jelas saat kami tak sengaja berpandangan selama satu detik tadi. Iya hal sebenarnya adalah kami berpandangan dan dia buru-buru berdiri. Normal. Ga ada adegan slow motion atau menari India seperti khayalanku tadi. Mukanya terangkat, dia memandang kami dan sedikit tersenyum. Pertama kali kulihat wajahnya dengan jelas, di bawah sinar lampu jalanan kampus, aku menatapnya, bibir tipisnya, kulit cokelatnya, alis tebalnya, dan sorot matanya yang tajam, seperti mata Hyuuga dalam film Captain Tsubasa yang kutonton dulu. Astaghfirulloh. Kutundukan pandangan berharap tidak terlalu larut melihat wajah beningnya itu terlalu lama. Takut akan menjadi dosa bila itu kulakukan. Kenapa dosa? Karena bisa jadi seperti khayalanku tadi, dari mata bisa turun ke hati. Bisa timbul perasaan-perasaan yang seharusnya tidak dirasakan oleh dua insan yang belum halal dan belum tentu bisa jadi halal.
“Maaf..” ucapnya. Cubitan itu pun terasa kembali di lenganku. Aku melotot menyadari Arini yang sudah duluan memelototiku. Mengirimkan isyarat telepati yang biasa kami gunakan saat-saat genting seperti ini. Dan pelototinnya tadi berarti Kamu-harus-minta-maaf, dan kubalas dengan cengiran tanpa dosaku.
“Aaa.. itu. Saya yang seharusnya minta maaf pak, tadi benar-benar ga sengaja.” Ucapku sedikit memelas agar kelihatan menyesal dengan tingkahku.
Mata lelaki itu sedikit melotot saat kulirik sekilas. “Iya, saya juga salah tadi gak lihat-lihat jalan. Malah asyik melamun.”
Ingin sekali kutanyakan dia melamun apa sampai tidak menyadari keadaan kami yang begitu heboh tadi.
“Iya, gapapa mas, sepertinya ini sudah terlalu malam, kami permisi dulu.” Ucap Arini mengendalikan situasi. Lenganku di tariknya untuk menjauh dari tempat kejadian perkara meninggalkan lelaki tadi. Namun ingatanku kembali membuat otakku bekerja.
“Mas..!” kupanggil ia,
“itu nanti celananya langsung dicuci yah, rokku kena pup cicak tadi.” Teriakku pergi meninggalkan ia dengan mulutnya yang sedikit terbuka, berdiri sendirian diterangi lampu di jalanan kampus itu.
BAB II (Akhtar dan Fadli)
Matahari mulai berpindah tempat dari yang semula terbit di barat, kini sudah mencapai tepat pada posisi hampir di atas kepala kita, pertanda sudah setengah waktunya ia pergunakan untuk menyinari manusia di belahan bumi ini. Begitu pula di sini, sebuah taman kanak-kanak berisi makhluk-makhluk menggemaskan tampak asyik bermain sambil menunggu jemputan mereka, ada yang bermain jungkat-jungkit, perosotan, dan berbagai permainan khas anak yang disediakan di halaman depan sekolah taman kanak-kanak. Satu-persatu orang tua anak-anak itu mengambil makhluk itu untuk pulang kembali ke rumahnya. Tentu saja, hampir semuanya berjenis kelamin wanita, jarang sekali terlihat seorang laki-laki menjemput anaknya di sekolah Taman Kanak-kanak. Rata-rata ayahnya sedang sibuk mencari nafkah sehingga tak sempat melakukan ritual jemput-menjemput. Lain sekali dengan wanita-wanita yang berstatus “Ibu”. Kalian pasti setuju bahwa sebagian besar  ibu-ibu itu selalu menyempatkan diri dan meluangkan waktu agar anak mereka bisa pulang dijemput sang Ibu.
Setelah hampir semuanya pulang, kini tinggallah seorang lelaki kecil sedang berjongkok di pinggir perosotan yang tadi ia mainkan bersama temannya. Anak itu tampak gusar karena sekarang ia hanya tinggal sendiri, tak ada teman, jemputan pun belum datang. Wajahnya merengut, pipinya menggembung tanpa mengurangi kelucuan alami yang ia miliki. Rambutnya acak-acakan, bulir-bulir keringat tampak muncul kecil-kecil di dahinya, terang saja, matahari bergeser sedikit lagi, kini posisinya sudah tepat berada di atas kepala manusia. Menandakan teriknya siang itu. Jari anak itu menunjuk tanah, membentuk pola melingkar menggunakan lidi yang ia cabut dari kumpulan lidi bernama sapu saat hendak keluar dari kelasnya. Matanya merah, dan sedikit penuh dengan air yang sedari tadi ia tahan. Ia tahu, sebagai seorang laki-laki ia tidak boleh cengeng hanya gara-gara hal sepele ini.
“Fadli..” sebuah suara yang ia kenal membuatnya mendongak.
“Kamu belum dijemput sayang?” ucap suara lembut itu.
“Belum Bu. Kebiasaan deh ayah ngalet gini.” Hm ngaret maksudnya, gara-gara belum bisa mengucapkan huruf “R” dengan benar ia mengantinya dengan huruf “L” menurut pada nalurinya.
Perempuan berkerudung hijau toska itu tersenyum dan mengusap kepala sang anak. “Ibu temenin yah? Duduk di sana aja gimana? Di sini panas sayang.” Jarinya menunjuk sebuah kursi di bawah pohon. Terlihat teduh, nyaman untuk digunakan ketika cuaca panas begini. Mendengarnya anak itu mengangguk, menyambut uluran tangan sang Ibu Guru untuk menuntunnya ke tempat yang dituju.
Tak lama sebuah motor matic masuk ke dalam halaman sekolah, pengendaranya turun dan segera membuka helm hitam yang dipakainya. Mengibaskan rambut hitamnya yang acak-acakan dan mengusapnya ke belakang, menyisir melalui sela-sela jarinya. Fadli tersenyum, berlari meninggalkan ibu gurunya dan menghambur ke pelukan lelaki itu. Hm ternyata ada juga laki-laki yang bersedia meluangkan waktu untuk anaknya selain Ibu-ibu yang tadi menjemput teman-teman Fadil.
“Papaaaaaaaaa…” teriaknya. Lelaki itu membalas senyuman sang anak, dengan tangannya ia membawa tubuh Fadli ke dalam gendongannya. “Maaf boy, papa telat, tadi ada kerjaan dulu di kantor.” Si anak merengut kembali. “Kamu pasti sudah lama menunggu?benar?”
“Nggak lama Pa. tapi lamaaaaaaaaaaaaaaa banget. Papa mau  bikin aku lumutan yah?” jawab Fadil sambil berkacak pinggang di gendongan ayahnya. “Haha.. lumutan itu apa sayang?” Papanya menyeringai. Heran dengan anaknya yang mendapat kosakata baru, bahasa orang dewasa.
“Emang lumutan altinya apa Pa?” si anak tampak berpikir keras dengan kata yang baru saja ia ucapkan. Dan lelaki itu terbahak melihat anak sok tahunya yang selalu mengucapkan kata-kata yang baru saja ia dengar ke dalam percakapan mereka. “Udah nanti Papa jelasin di rumah. Kita pamit dulu sama Bu Guru yuk.” Fadli mengangguk dan berpamitan kepada perempuan yang dipanggilnya Bu Guru sebelum kemudian mereka pulang dengan motor sang Papa.
“Makasih ya Bu. Maaf loh selalu merepotkan.” Ucapnya dengan senyum menawan yang sepertinya ditularkan kepada Fadli, bedanya lelaki itu sudah dewasa dan Fadli masih anak-anak sehingga kesan yang didapat penikmat senyum pun berbeda. Kalau ayahnya tersenyum, maka wanita akan langsung jatuh terduduk saking terpesonanya dan kalau Fadli tersenyum, maka pipinya akan jadi lomba cubitan orang-orang di sekitarnya karena sangat lucu. Wanita itu tersenyum, mengucapkan salam, pipinya merona melihat keramahan ayah Fadli yang tak pernah berkurang sejak Fadli masuk TK.
Wanita itu memperhatikan kedua pria yang pergi berlalu dari pandangannya. Kagum akan sikap sang ayah yang sangat menyayangi sang anak. Bahkan hampir tak pernah melewatkan waktunya untuk menjemput buah hati tercinta.
Sementara itu, dua lelaki beda generasi terus menyusuri jalan raya, masuk ke dalam kerumunan kendaraan yang berhimpitan di sepanjang jalan. Ada yang berlomba untuk sampai di baris depan, menyalip dan mengambil jalur zig-zag. Ada juga yang dengan sabar mengikuti jalur yang ada, sambil berdoa berharap kepadatan itu segera berakhir, begitu pun dengan lelaki itu, kebiasaannya membonceng Fadli membuat ia sangat berhati-hati dalam menjalankan laju motornya. Hingga dua puluh menit berlalu, jalan yang mereka lalui sudah mulai lenggang, lelaki itu mulai menambah kecepatan motornya walau masih dalam kecepatan aman, ia melirik jam di tangan kirinya, berharap masih ada waktu untuk merampungkan pekerjaannya yang tersisa di kantor. Namun tanpa disadarinya seorang wanita berjilbab sedang merentangkan sebelah tangannya, isyarat ia ingin menyeberang, dan langsung disambut dengan laju kecepatan para pengendara yang melambat. Lelaki itu tak menyadari bahwa kendaraan yang hendak ia salip melambat karena akan ada penyeberang jalan, ia  mengira mendapat izin dari pengemudi untuk menyalip. Dengan mantap, ia menambah kecepatan tanpa tahu bahwa apa yang dilakukannya akan berlanjut pada peristiwa yang tak pernah ia inginkan, saat hendak menyalip, seorang wanita muncul dari balik kendaraan itu, berjalan sambil tetap merentangkan tangannya. Jantung lelaki itu berdetak cepat, tak sempat ia memperlambat kecepatannya, rem pun dijadikan jalan keluar. Rem mendadak yang tidak diduga sang anak membuatnya terjungkal kebelakang, menabrak tubuh wanita muda yang hendak menyeberang itu. Menyisakan kekagetan para pengendara dan pejalan kaki yang menyaksikan peristiwa tersebut. Andai waktu dapat berhenti, pasti lelaki itu dengan senang hati memanipulasi keadaan dan mengembalikan semuanya ke tempat semula, andai adegan slow motion dapat terjadi di dunia nyata. Mungkin ia dapat menghindari kejadian itu. Tapi ia sadar, semua sudah terjadi, kegelapan menyambut mereka. Ketiganya pingsan, menyisakan sejuta kekagetan dan rasa penasaran para saksi mata yang tak lama kemudian mengerubungi mereka.
***   
“Rin.. cowok itu cakep yah.” Ujarku tiba-tiba.
“Cowok yang mana?” dahi Arini berkerut menanyakan kejelasan maksudku.
“Itu loh, yang kemaren nabrak aku..hehe.” jawabku cengengesan, seketika itu pula mata Arini membelalak, mulutnya melongo dan sebuah jitakan mampir di kepalaku. “Duh. Kebiasaan kamu Rin, maen kekerasan.” Aku menggerutu tak terima dengan perlakuan semena-mena sahabatku itu.
“Hush. Kamu tuh. Jangan keterusan dipikirin, entar jatuh cinta loh. Terus koreksi, yang nabrak itu kamu! bukan cowok itu! Ga usah memutar balikkan fakta!”
“Dihhh… dia juga nabrak aku kale.. mana ada cowok malem-malem di tempat kampus yang sepi gak lihat gadis perawan heboh kayak kita. Harusnya dia menyingkir dong, malah sengaja ngedeketin trus  sok-sokan kena tabrak gitu. Gak asik banget.” Bantahku tak terima dengan perkataan Arini. Sambil terus-menerus mengotak-atik smartphone kesayanganku dengan sentuhan kasih sayang.
“Oo.. jadi maksud kamu dia yang salah gitu? Hih. Jangan su’udzon (buruk sangka) gitu! Siapa tahu kan dia lagi ngelamun atau gimana gitu. Lagian kita juga kan yang salah, udah tahu jalan umum malah dipake buat kejar-kejaran gitu.” Hmm. Gitu deh si Arini. Saking baiknya, selalu saja menjadi manusia yang menyalahkan diri sendiri. Bertolak belakang denganku yang selalu berusaha membela diri. Kepribadian kontras kami bukannya menjadi benturan dalam hubungan persahabatan ini tapi justru malah membuat kami semakin dekat.  Apapun yang kami bicarakan, selalu saja ada bentroknya, walaupun tak sampai pake urat sih ngomongnya. Karena kita tahu, menghargai pendapat lebih penting daripada memaksakan pendapat kita kepada orang lain.
“Eh tapi gitu-gitu juga romantis loh kita ketemuannya. Kayak di film-film gituuu. Trus cowoknya cakep pula. Jangan-jangan kitaa..”
“Jodoh gitu? Dih, yang bener aja. Seumur-umur nih ya. Aku ga pernah denger kisah nyata yang menceritakan cowok dan cewek tabrakan gak saling kenal akhirnya nikah! Boro-boro nikah, jadi temen pun kayaknya ga ada deh. Lebay tahu gak. Terlalu didramatisir.” Arini mencibir dengan segala ketidaksetujuannya perkara jodoh ini.
“Kata mama aku nih ya. Jodoh itu jorok Rin. Mau tempatnya di goa juga bakal ketemu deh si jodoh kalo emang udah takdirnya.” Kataku tak mau kalah.
“Bukannya gitu, kita kan…”
Drrttt..drrtt.. saat itu juga perkataan Arini terpotong karena suara getaran ponselku. Panggilan masuk dari Mama segera kuangkat tanpa babibu.
“Halo Ma? Waalaikumsalam. Iya Ma? Mba Gadis? Serius? Innalillahi.. yaudah aku kesana. Rumah sakit mana? Oh oke oke. Assalamualaikum.”
Percakapan singkatku mengundang lirikan tajam dari Arini.
“Mama kamu kenapa?” sudah kuduga dia akan bertanya begitu.
“Mamaku baik-baik aja. Cuman Mbak Gadis kecelakaan Rin. Sekarang aku harus ke rumah sakit.”
“Innalilllahi.. aku ikut yah? Boleh?”
“Ayok. Rin. Kita cepetan.” Jantungku berdentam keras. Mendengar kakak kesayanganku masuk rumah sakit. Apalagi mama bilang tadi tertabrak motor. Ya Alloh. Semoga dia tidak kenapa-napa. Aku takut terjadi hal yang tak diinginkan pada kakak sepupuku tersayang.
Doaku dalam hati, berharap semuanya akan baik-baik saja. Gadis adalah sepupu dekatku dari adik Mama yang telah meninggal. Kami tinggal bersama sejak dia di bangku SMA. Umurku hanya terpaut dua tahun di bawahnya. Memiliki ibu yang cantik dan ayah yang berwajah di atas rata-rata membuatnya memiliki wajah dan tubuh yang diidam-idamkan setiap wanita. Banyak teman lelaki Kak Gadis berharap dapat menjadi kekasihnya. Terang saja, siapa yang tak akan tertarik pada wanita berambut ikal bergelombang dengan bibir penuh, alis melengkung alami, mata bulat seperti kelereng dan kulit kuning langsat, tinggi badan 166 cm, oh iya dia pernah menjadi cover majalah sekolah dan berhasil memikat hampir seluruh laki-laki SMA di sana. Jujur, aku pun sedikit iri dengannya. Walaupun kami sepupu, tak ada kemiripan sama sekali dengannya. Kulitku sawo matang, bibir tebal, rambut hitam, tinggi badan 155 cm dan hm mungkin bulu mata sedikit lebat. Kontras sekali dengan kakakku itu.
Namun kehidupannya tak sebaik wajahnya. Kecantikannya tak menjadikan dia seperti wanita normal lainnya. Dia pernah menceritakan keluh kesahnya padaku sewaktu kami masih remaja SMA. Kesenangannya sebagai gadis yang cantik, harus tertimbun karena banyaknya orang yang tak menyukainya. Kalian pasti tahu teori “sepasang”. Ada siang maka ada malam, ada perempuan pasti ada laki-laki, ada kiri dan ada kanan. Begitupun yang dialami Kak Gadis, banyaknya orang yang mengagumi dia, semakin banyak pula yang membenci. Walaupun dia mengaku tak tahu penyebabnya. Tapi perlakuan seorang pembenci lebih menyakitkan bila dilakukan oleh banyak orang, apalagi bila orang yang dibenci adalah remaja SMA seperti Kak Gadis, masih labil, masih belum bisa bersikap dewasa. Jangan kira hanya di sinetron saja terjadi pem-bully-an, bahkan tontonan pun sepertinya sudah dijadikan contoh oleh para penikmatnya. Aku melihat sendiri ketika kakak kelas Kak Gadis menjadikannya target pem- bully-an di sekolahnya. Memang tak ada aksi lebay seperti terror di meja kelas atau menyembunyikan baju olahraga selagi dia disiram air kotor di toilet sekolah. Namun lebih kepada cibiran yang ia terima di setiap sudut sekolah. Kehidupannya sebagai anggota OSIS pun dimanfaatkan sebagai ajang untuk melakukan segala hal yang diperintahkan oleh kakak kelasnya. Hm satu lagi. Dia pernah didatangi enam kakak kelas dan dibentak-bentak di belakang sekolah hanya karena dianggap merebut pacar orang.
Tidak hanya itu, lelaki yang sempat jadi pacarnya hanya tertarik kepada tubuhnya saja. Mereka dengan seenaknya datang dan pergi. Ayahnya meninggal karena penyakit jantung saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya pergi menyusul saat ia masih di bangku SMA, tepatnya kelas satu atau kalau zaman sekarang  disebut kelas X.
Kalau dibandingkanku, mungkin aku termasuk manusia yang beruntung. Ayah ibu masih lengkap, hidup lurus, tak ada beban, kalaupun sedikit tersandung masalah, itu masih dibilang kecil dibanding masalah yang dialami Kak Gadis. Aku salut padanya, dikala ia mendapat cobaan yang begitu berat, ia masih dapat bertahan hingga saat ini.
“Ghi, ayo turun.” Seseorang yang kukenali sebagai sahabatku Arini sedang berusaha menyadarkanku dari lamunan tentang Kak Gadis. Oh iya aku belum sempat mengatakan, namaku Ghania Faranisa Azni, orang memanggilku Ghia.
Kukerjapkan mataku sebagai tanda aku sudah kembali berpijak di bumi. Meninggalkan semua lamunanku dan menyimpannya ke dalam memori yang sewaktu-waktu akan kubuka kembali. Bergegas kulangkahkan kaki memasuki gerbang rumah sakit menuju kamar yang sudah ditunjukkan oleh resepsionis yang tadi kutanyai. Tepat ke lantai tiga aku menuju, sayup-sayup kudengar seseorang menjerit histeris. Sepertinya ku kenal suaranya. “Rin, itu kayak suara Kak Gadis deh” kulirik wajah Arini yang sepertinya tampak tegang dan penasaran. Sama seperti yang kurasakan hingga sampailah kami di depan pintu tempat Kak Gadis dirawat. Pandanganku kembali tertuju ke depan. Aku melihat seorang lelaki keluar dari kamar Kak Gadis. Sebelum kemudian dia mendekat dan melewatiku menuju lift yang tadi kunaiki. Sempat kulihat wajahnya, laki-laki itu memakai perban di kepalanya dan gips menyangga tangannya. Raut wajahnya kusut, sekitar dagunya memar ditempeli plester, matanya merah, langkahnya gontai dan sedikit pincang. Dia melirikku sekilas saat kami berpapasan, menyisakan sejuta pertanyaan di hatiku tentang siapa sosok tersebut.
***
BAB III (Gadis)
Putih
Itulah yang dia lihat pertama kali, atap, dinding dan semua hal di ruangan itu didominasi warna putih. Kepalanya sedikit berontak ketika lelaki itu memaksa otaknya mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum berada di ruangan putih ini. Belum lagi, orang-orang berpakaian putih yang ia yakini berprofesi sebagai dokter dan perawatnya  sedang mengelilinginya membuat ia yakin bahwa tempat ini adalah rumah sakit.
Seingatnya, dia sedang menjemput anaknya pulang sekolah sebelum kemudian ia menyadari, bahwa dia dan motornya telah menabrak seorang wanita, hm dan..
“Astaghfirulloh…” ujarnya meringis, memegangi kepalanya yang terbalut perban yang tiba-tiba berdenyut hebat. “Pak! Jangan dulu bergerak ya” perintah suster itu dengan nada lembut. Namun lelaki itu tak menghiraukannya, ia sadar ada hal yang lebih penting dari tubuhnya. Anaknya.
“Fadli mana? Dia dimana dokter? Anak saya baik-baik saja kan?” naluri seorang ayahnya  mengatakan bahwa dia harus segera bertemu anaknya.
“Pak Akhtar, anda tidak perlu khawatir, kondisi anak anda lebih baik dari yang kami perkirakan, dia hanya mengalami shock sedikit. Hanya luka ringan, bahkan lebih baik dari yang anda alami.” Jawab dokter itu.
Lega lah ia, mendengar kondisi anak semata wayangnya itu. “Saya ingin menemuinya dok, boleh? Dan..kondisi wanita itu bagaimana?”
Dengan ketenangan yang terpancar dari wajah dan bahasa tubuhnya, dokter itu mengatakan bahwa Fadli sempat sadar dan menangis sambil memanggil-manggil ayahnya, namun kemudian ia kembali tenang tertidur setelah dikatakan bahwa ayahnya sedang diobati. Tak ingin membuang waktu, Akhtar segera mencari Fadli sambil terpincang-pincang. Tak peduli dengan larangan dokter dan suster yang berada di ruangan itu. Dengan tak rela sang dokter menunjukan tempat Fadli dirawat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat punggung Akhtar yang semakin jauh dari kamar rawatnya.
“Papaa..” teriakan Fadli memenuhi ruangan tempatnya dirawat, ia berlari ke pelukan ayahnya berharap dapat digendong seperti yang biasa Akhtar lakukan. Namun yang terjadi adalah Akhtar yang meringis kesakitan ketika Fadli tak sengaja menekan tangannya yang terbalut gips.
“Sakit ya pa?” raut cemas tergambar di wajah bulat berambut ikal dan berpipi gembul tersebut. Akhtar tersenyum senang melihatnya.
“Papa baik-baik saja sayang. Cuma lecet sedikit.” Hiburnya.
“Tapi tangan Papa kenapa diiket gitu, kayak lagi gendong bayi.” Tunjuknya kepada tangan kanan Akhtar.
“Hahaha.. iya, besok juga sembuh sayang. Anak papa jangan khawatir. Papa kan kuat kayak Spiderman.”
“Bukan Spidelman. Tapi Hulk Pa. Spidelman kelempeng gitu, kulus, Fadli gasuka.” Fadli mendengus, pipinya menggembung.
“Hulk itu jelek sayang. Masa kolor ijo dibandingin sama Papa yang ganteng.”
“Loh papa kan suka pake kolol ijo kalo di rumah.”
“……”
Perdebatan tak penting antara ayah dan anak pun berakhir dengan skor  0-1. Nilai kosong untuk Akhtar dan 1 untuk Fadli. Namun interaksi itu tak berlangsung lama, karena Akhtar ingat pada wanita yang tak sengaja ditabraknya. Dokter bilang wanita itu ada di lantai tiga rumah sakit. Kakinya terluka dan patah, tapi sejauh ini taka da yang perlu dikhawatirkan. Dia juga masih pingsan, selain itu pihak keluarganya sudah ada yang datang melihat kondisinya.
“Boy, Papa mau mengunjungi seseorang dulu. Kamu tunggu di sini yah.” Fadli mengangguk dan berjanji akan menunggu sampai ayahnya kembali. Tak buang waktu, Akhtar segera menuju lantai tiga untuk segera melihat kondisinya dan meminta maaf atas kelalaiannya dalam mengendarai motor siang itu. Dia merasa telah begitu ceroboh karena telah menyebabkan semua ini terjadi. Bahkan kecerobohannya ini bisa mengakibatkan hal yang lebih parah. Mungkin salah satu di antara kita bisa saja meninggal. Memikirkan hal itu membuat Akhtar bergidik dan beristighfar. Dalam hati dia berjanji tidak akan menjadi orang ceroboh lagi dan lebih berhati-hati dalam mengemudikan kendaraan.
Sekarang dia sudah sampai di depan pintu masuk, tangannya terulur membuka gagang pintu dan menggesernya ke samping kanan hingga ruangan itu terekspos di pandangannya. Tanpa pikir panjang Akhtar masuk ke dalam, menuju ranjang tempat wanita itu berbaring. Untuk pertama kalinya, dia memperhatikan wanita..( hm sepertinya dia lebih cocok dipanggil gadis) yang sudah dilukainya beberapa jam lalu. Bulu matanya panjang dan lentik, bibirnya penuh, dan kepalanya tampak tertutup kain besar berwarna merah muda. Cantik, pikir Akhtar. Memandangnya tak kan membuat dia bosan sepertinya.
“Maaf.” Gumamnya, hampir tak terdengar. Jemarinya mengusap kepala wanita itu hingga kelopak mata gadis itu bergerak-gerak. Sebelum Akhtar sadar, mata gadis itu terbuka, beberapa kali dia mengerjapkannya dan pusat pikirannya langsung teralih kepada sosok yang ada di hadapannya. Lelaki itu dengan matanya yang sipit, hidungnya yang bibirnya yang sedikit tebal di bagian bawahnya, bentuk wajahnya yang lonjong dan dia sedang mengusap kepalanya. Wajahnya begitu dekat. Hembusan nafasnya mengusap pipinya perlahan.
Seketika bayangan masa lalu itu berkelebatan di kepalanya, pandangannya kabur, seolah ada tombol replay di otaknya yang tidak sengaja tertekan. Menampakan adegan-adegan yang tak ingin dia lihat. Tubuhnya menggigil, lengannya melingkar otomatis bersama lututnya yang menekuk. Bibirnya bergetar, matanya mengeluarkan air bening yang mengucur deras.
“Ja..ngan,” dia mendesis pelan.
“Jangan sen..tuh..” suaranya semakin mencicit. Matanya semakin merah. Ketika sebuah lengan kokoh memegang tangannya, tubuhnya beringsut, menangkis dan bergetar semakin hebat.
Akhtar terkejut bukan main melihat reaksi gadis dihadapannya. Saat dia berusaha menenangkan gadis itu dengan memegang tangannya, gadis itu malah menjerit makin histeris. Mulutnya meracau tak jelas. Berteriak dan mengusirnya pergi.
Apakah aku telah menakutinya? Pikir Akhtar. Egonya benar-benar terlukai. Padahal selama ini, para wanita selalu senang berada di dekatnya. Pipinya merona dan selalu tersipu. Tapi gadis ini malah berteriak seperti dia akan menerkamnya saja. Atau kelakuannya yang tak sopankah yang membuat gadis ini bereaksi dramatis?
Akhtar teringat saat tangannya otomatis mengusap-usap kepala gadis itu. Hm itu bukan salahnya. Itu salah dia sendiri berekspresi seperti itu minta diusap. Pikiran Akhtar semakin melantur. Mencoba menghibur diri. Namun derap langkah kaki yang terdengar semakin mendekat membuat otak ngawurnya berhenti berspekulasi. Dokter wanita berambut sebahu, suster dan ibu-ibu berjilbab cokelat muda menghampiri kami.
Wajah ibu-ibu itu menatapku sekilas, namun segera beralih memeluk gadis itu.
“Sayang. Jangan takut, ini ibu nak!” ucapnya. Suaranya bergetar seperti menahan tangis. Namun gadis itu tak menggubris ibunya. Dia malah makin menjerit histeris hingga dokter wanita itu turun tangan dan menyuntiknya. Gadis itu kembali tak sadarkan diri.
Akhtar semakin sadar dengan kekacauan yang tak normal ini. Wanita paruh baya yang menangis sambil memeluk gadis itu terlihat sangat tersiksa.
“Bu, maaf..” wanita itu menoleh kepada Akhtar dan sedikit tersenyum. Menjeda tangisnya, sadar akan keberadaan laki-laki yang sedari itu tinggal dengan raut wajah bingung.
“Ini bukan salahmu, Nak. Gadis hanya takut.” Jawab wanita itu tenang.
“Maaf, tapi saya hanya ingin minta maaf telah membuatnya berada di sini Bu. Saya, benar-benar tidak menyangka kecelakaan ini akan terjadi.” Ucapnya mengabaikan penjelasan wanita itu.
Sekali lagi, senyum terukir di wajah wanita tua itu. “Tentu saja. Tadi Ibu sempat tengok kamu dan anakmu waktu kalian tak sadarkan diri. Tak ada yang perlu disalahkan. Ibu yakin, kamu juga tak menginginkan hal ini terjadi.”
“Sekali lagi terima kasih Bu, oh iya, segala biaya pengobatan di sini saya yang tanggung, jadi Ibu tak usah memikirkan apapun lagi.” Sambung Akhtar. Wajahnya menyiratkan kelegaan dengan terbukanya pintu maaf dari wanita yang mungkin Ibunya sang gadis. Dia hendak pamit pergi sebelum kemudian Ibunya bertanya lagi.
“Nak, tadi apakah kamu sempat menyentuh Gadis?”  Akhtar mengernyit, oh jadi namanya Gadis. Dengan ragu ia mengangguk dan berucap, “Sewaktu pingsan saya mengusap kepalanya Bu. Dan sedikit menggenggam tangannya. Maafkan saya, itu saya merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya. Tidak ada maksud lain. Sungguh.”
Wanita itu tergelak. “Ya. Ya Ibu tahu. Tapi Gadis itu berbeda dengan wanita lainnya. Dia benar-benar tidak bisa berdekatan dengan lawan jenisnya. Jadi kuharap kau maklum nak.” Jelasnya. “Lagipula. Kalian bukan muhrim. Tidak sepantasnya seorang lelaki menyentuh perempuan yang belum halal untuknya.” Ucapan Ibu itu menohok jantungnya. Dia tahu. Jelas. Karena dia pernah menonton film “Ayat-ayat Cinta” dengan almarhum istrinya. Tapi dia tidak menyangka bahwa akan bertemu dengan manusia jenis ini. Yang benar-benar taat agamanya. Dengan sungkan Akhtar pamit. Keluar dengan tanda tanya besar di otaknya.
Siapa Gadis itu?
Dan ada apa dengannya?
Segala macam pikiran berkelebatan di otaknya, meminta jawaban atas rasa penasaran yang tiba-tiba membungkus isi kepalanya. Akhtar mendesah. Dia berjalan menjauh dari ruangan Gadis dengan langkah gontai, hendak bertemu Fadli kembali. Berharap anak lucunya dapat mengusir segala perasaan yang tiba-tiba membuat dadanya sesak. Belum lagi di lorong rumah sakit Akhtar kembali bertemu dengan dua gadis berkerudung yang menatapnya heran dan kasihan (?). Membuat dia semakin merasa berdosa atas tingkahnya. Padahal selama ini dia tidak pernah bermasalah menyentuh kulit wanita di sekelilingnya. Mengapa sekarang dia merasa sangat bersalah?
***

BAB IV (Arini)
Tetesan embun perlahan turun dari serat-serat dedaunan hijau menuju tanah, sebagian yang lain terangkat membentuk asap yang nantinya menjadi sumber air hujan, mereka diangkat mentari yang perlahan menyapu gelap, cahayanya menyinari benda-benda bumi, menyibaknya menjadi lebih berwarna, kaca-kaca yang terkena sinarnya memantulkan silau yang membuat mata manusia sedikit menyipit. Pagi ini, makhluk-makhluk bumi kembali menjalankan tugasnya. Mematuhi perintah Illahi sambil bertasbih.
Seorang gadis tampak terburu-buru melangkahkan kakinya, tak menghiraukan suasana sekitarnya. Jilbabnya bergoyang tersapu angin pagi yang berhembus pelan. berkali-kali ia mengangkat tangan kirinya, melirik waktu yang tertera pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul 08.15 . Dia menghembuskan nafasnya, dan sedikit tersenyum. Masih ada waktu lima belas menit lagi, pikirnya. Gadis itu, Arini tak mau membuang waktunya. Langkahnya dipercepat, berharap segera sampai ke tempat yang ia tuju. Agar ia tak terlewat satu detik pun untuk hadir di acara itu.
“Assalamu’alaikum ukhti.” Ujar seorang gadis berjilbab biru sambil tersenyum. Arini membalasnya, jabat tangan dan cipika-cipiki sudah biasa dilakukannya bila bertemu sesama teman halaqohnya itu, dengan gaya yang lembut tentunya. Beda sekali ketika ia bertemu dengan Ghia sahabatnya. Walaupun Ghia sama-sama berkerudung, sahabatnya itu tidak selembut teman-temannya yang lain. Dia malah terkesan santai, tidak memiliki image muslimah lemah-lembut atau anggun  seperti yang lain. Ghia memang lebih easy going bila dibanding Arini, tak selalu ambil pusing masalah, tapi tetap bisa membawa diri di setiap situasi yang ada. Dia tahu kapan waktunya tertawa, bercanda dan serius di tempat yang berbeda. Dan keterus-terangannya akan sesuatu selalu membuat Arini geleng-geleng kepala.
Pertemuannya dengan wanita berjilbab biru itu sudah direncanakan sebelumnya, dia adalah salah satu teman di organisasinya. Sudah menikah. Sekarang aktif menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin pengajian-pengajian di kompleks rumahnya. Semenjak lulus kuliah dan menikah, dia mengurangi aktivitasnya dalam berorganisasi, lebih fokus ke dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dekat rumahnya, apalagi sekarang dia sudah memiliki dua orang puteri, wanita itu harus lebih pintar memanage waktunya agar posisinya sebagai, isteri, seorang ibu, dan pendakwah bisa seimbang.  Selain itu, ia juga merupakan salah satu sahabat tempat Arini berkeluh kesah. Menceritakan segala masalah yang tak dapat dia tampung sendiri, kemudian menyelesaikannya atas saran dari Mbak Widya, tempat curhatnya.
Sudah satu bulan mereka tak bertemu karena kesibukan masing-masing. Sekarang, dengan tiba-tiba Mbak Widya mengajak Arini bertemu dengannya.
“Mbak, sebenarnya ada apa yah? Kok mendadak pengen ketemu?” tanya Arini, mencoba mengenyahkan rasa penasarannya dengan menanyakan langsung pada Widya.
“Kamu itu gimana sih? Gak kangen apa sama Mbak? Udah sebulan gak ketemu langsung tembak aja, basa basi dulu kek!” kelakar Widya, memang tidak biasanya Widya memaksa bertemu dengan Arini seperti itu. Istilahnya, Ngebet gitu pengen ketemu. Gak mau dinanti-nanti. Semalam Arini di telepon diminta untuk bertemu pagi ini. Dan itu harus. Gak boleh nolak.
“Yee. Mbak ! kemaren kayak penting banget, sekarang malah becanda. Tentu aja Arini kangen sama Mbak, tapi kan masalahnya Mbak aneh banget maksa-maksa pengen ketemu gitu, kayak lagi ngidam aja ah.”
“Haha. Iya iya. Sebenarnya gini loh, ehem ehem..”
“Loh, sariawan ya?”
“Hush. Engga. Jadi gini loh. Hm kamu ini kan sudah 22 tahun, sudah pantas lah ya untuk berkeluarga, apalagi sidang skripsimu bulan depan, bentar lagi wisuda. Istilahnya kamu tuh udah pas ya.”
“Iya, trus gimana Mbak?”
“Terus, semalam Mbak ngobrol sama suami, dan suami Mbak cerita tentang temannya yang sudah ingin beristri.”
Lah…lah. Sepertinya Arini sudah bisa sedikit menebak arah pembicaraan ini. Jangan-jangan…
“Nah, di acara bedah buku minggu lalu, temennya Suamiku itu jadi pembicara di kampusmu, jadi ya itu. dia tertarik sama seseorang yang hadir di acara tersebut. Dan kamu pasti tahu siapa perempuan itu.” Mbak Widya mengakhiri pembicaraannya dengan tersenyum lebar sambil sedikit berkedip. Kalau  tidak salah sih bedah buku yang hadir minggu lalu yang tentang membina rumah tangga itu ya. Itu doang kan ya. Dan hm tunggu, yang jadi pembicaranya ada dua kan ya. Hm itu..
“Mbak. Jangan bilang aku mau dijadiin istri kedua?”
“Astaghfirulloh, Rin. Pikiranmu jangan macem-macem ah. Istri kedua apa maksud kamu?”
“Ya, kan kemarin pembicaranya ada dua mbak, trus yang jadi pembicara pertamanya udah beristri.”
“Trus pembicara kedua gimana?”
Arini mendongak. Sebenarnya hatinya sudah berbunga dari tadi. Tapi dia tidak percaya diri menebak-nebak bahwa perempuan yang diinginkan lelaki itu adalah dirinya. Jadilah dia mengira-ngira hal yang lain untuk menetralisir hatinya. Pipinya menghangat, menyalurkan rasa bahagia pada relung-relung hatinya.
“Hei, kok malah ngelamun.” Widya menepuk pundak Arini. “Jadi gimana nih?”
“Hehe..” Arini hanya tersipu, bingung kalimat apa yang harus dilontarkannya kepada Widya. Apa dia harus bilang kalau sebenarnya dia juga sudah lama memendam rasa pada lelaki itu? ah itu memalukan. Atau dia harus bilang lelaki itu ganteng, jadi dia mau menikah dengannya. Duh kesannya norak banget. Tapi duh gimana ya. Jantung Arini kayak mau loncat-loncat.
“Ehm Mbak, sebaiknya kita ketemu dulu. Aku pengen berbicara lebih jauh sebelum menuju ke jenjang berikutnya.”
Akhirnya, kalimat itulah yang dilontarkan Arini, dia sangat ingin memastikan kalau sebenarnya ini kenyataan. Seperti Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah, Jatuh cinta dalam diam sampai saat dimana mereka menjadi halal dan dapat mengungkapkan perasaannya masing-masing. Bersatu dalam jalinan cinta yang dilandaskan pada Sang Pencipta. Bukankah kisah cinta merka mirip? Apakah Arini benar-benar mengalami kisah cinta itu?
Ini benar-benar membuat hati Arini berbunga-bunga, ada bunga  melati, mawar, anggrek. Bisa deh dijual kalau mau. Saking senangnya.
“Baiklah. Nanti Mbak bilang ke suami dan kita atur pertemuannya ya.”

***


               
 BERSAMBUNG....
kalau ada yang kebetulan baca blog ga terkenal ini, di koment yah hahaha :)))






JODOH SANG JOMBLO ( coba nulis novel )

kali ini nyoba-nyoba nulis novel, mencoba-coba melakukan sesuatu dengan hobi kecilku, dan jelas-jelas belum bisa dikategorikan novel bagus yah, tapi mudah-mudahan bisa lebih menajamkan kemampuanku dalam menulis haha,
berikut sinopsisnya ~


Jodoh Sang Jomblo (sebenernya bingung sama judulnya, *masih mikir, tapi untuk sementara ini aja deh* )


Tiga wanita single dengan garis takdir masing-masing
Ghania Faranisa Azni, gadis periang, sedikit selebor dan menurutnya, dia adalah gadis “biasa” dalam arti datar-datar saja. Hidupnya datar, otaknya datar, fisiknya pun? Datar?eh? kalo yang itu engga sih.
Gadis Afifa Fitiya, nama indah pemberian orang tuanya yang berarti perempuan suci terhormat. Cantik dengan fisik yang  membuat lelaki menelan ludah, pintar, hm perfect. Namun siapa sangka, hidupnya tak seindah yang orang bayangkan. Bahkan nama “gadis”nya sudah ternodai karena ia sudah tak gadis lagi. (?)
Arini Hara Fawnia, bersahabat dengan Ghia (Ghania). Mereka cocok, saling mengerti dan saling melengkapi. Tapi lagi-lagi hidup tak selalu mulus. Lelaki idamannya malah melamar sahabatnya sendiri.
Mereka saling mengenal. Bersahabat dan menemukan jodohnya dengan caranya tersendiri.


MINE (FLASH FICTION)

Lilin-lilin itu berbaris seolah menyuruh perempuan itu mengikuti ujung dari nyalanya sang lilin, dan benar saja, api-api kecil dalam benda putih itu menuntunnya ke sebuah ruangan besar, perempuan itu terkejut, di sana terdapat sebuah meja dengan sembilan buah lilin kecil berwarna biru, dan dua buah kursi yang sepertinya sudah disiapkan dengan sangat indah, seluruh ruangan itu di hiasi mawar dan lilin dengan sangat mempesona, kemudian dia duduk dengan penasaran, menatap ke sudut-sudut ruangan. Seolah belum cukup kekaguman yang dia dapatkan, seorang wanita yang ia kenal memakai pakaian pelayan dan melayaninya bagai seorang tamu yang spesial, dahinya mengerut, tapi ia hanya tersenyum dan menurut saja, pelayan itu menuangkan air putih ke dalam dua gelas kosong yang ada di meja.
sepersekian detik kemudian muncullah dua orang pria bergitar memainkan alat musik mereka, dan sebuah suara yang ia kenal bernyanyi di antara bunyi gitar-gitar itu

girl your heart, girl your face
is so different from them others
i'll say you're the only one that i'll adore

cause everytime you're by my side
my blood rushes through my veins
and my geeky face, blushed so silly yeah, oyeah

and i want to make you mine

perempuan itu menahan napasnya, pipinya panas dan raut wajahnya berubah, semakin berseri, kiranya senang dengan apa yang terjadi malam itu,

sang lelaki melanjutkan nyanyiannya dengan tersenyum, memberikan sekuntum mawar untuk perempuan pujaan hatinya,

girl your smile and your charm
lingers always on my mind
i'll say, you're the only one that i've waited for
and i want you to be mine~


mengertilah ia,
sosok yang kini menjadi suaminya itu kini berdiri dengan mempesona, mulutnya mengucapkan kalimat-kalimat dengan nada dan lirik yang indah, kalimat yang dulu dipakai dalam surat-suratnya sang lelaki untuk mengungkapkan perasaannya setahun yang lalu, dan kini ia menyanyikannya.

o baby i'll take you to the sky
forever you and i
you and i
you and i
and we'll be together till we die
our love will last forever and forever
you'll be mine~~

membuat perempuan itu kembali jatuh cinta kepada sang lelaki untuk kesekian kalinya

"Selamat Ulang Tahun pernikahan kita sayang" ucap sang lelaki, tersenyum kemudian mengecup kening istrinya penuh cinta.


catatan iseng seorang manusia penyuka lagu Petra Sihombing-Mine

CEMAS (FLASH FICTION)

"Gausah! Biar dia pergi semau dia!"

"Tapi Mak, dia masih muda, mungkin cuma emosi saja." ucap wanita itu sambil memijit pundak Mak nya.

"Sudahlah Ning, biar dia lihat kota besar itu seperti apa. Mak sudah tak sanggup lagi ngasih tahu anak itu. keras kepala dia"

"Iya. tapi kota besar itu bahaya mak, apalagi perhiasan Mak dan uang yang cuma lima puluh ribu itu dia ambil pula. Apa dia gak kasihan sama kita? Ning juga takut terjadi apa-apa dengan dia. Ini sudah tiga hari Mak!"

Mak menghela napas dan berujar, "Ning, rejeki itu Alloh yang ngatur, yang penting kita berusaha. Berdoa saja agar anak itu selamat, cepat sadar dan segera pulang ke rumah lagi."

Hujan pun turun, Mak dan Ning masuk dan menutup pintu agar cipratan air hujan tak masuk ke dalam rumah kayu mereka.

Sementara itu, seorang anak di sudut jalan kota besar, tampak meringkuk dengan wajah lesu. Sorot matanya layu, seperti sudah kehilangan sebagian kesadarannya, baju yang sudah pantas dijadikan kain lap itu melekat kuat di tubuhnya. rambut panjangnya bagai tergerai, badannya gemetar, menggigil, menggengam erat tas hitam yang kini sudah tak berisi lagi.

Rabu, 18 September 2013

DIARY

Debu-debu beterbangan tak beraturan, namun tak kuasa melawan saat kusapu mereka dengan ijuk di genggamanku. kurapikan sampah-sampah yang tercecer tak beraturan di beberapa sudut kamarku. Sudah enam bulan lamarnya sejak terakhir kali kutata ulang kamarku dan kubersihkan isinya. Seperti yang diduga, debu-debu itu bersembunyai di setiap sudut yang tak terjangkau mata. Aku pun harus rela terbatuk ria menikmati butiran debu masuk ke hidungku dan menempel di pori-pori kulitku.
Kini , setelah lebih dari 30 menit aku bergulat dengan para debu, kupandangi kamarku kurapikan buku-buku dan kususun kembali ke tempatnya. Buku-buku referensi yang kugunakan sebagai bahan tugas kuliah, beberapa buah novel yang sempat membuatku terpana, dan komik-komik yang kukoleksi saat masih duduk di bangku SMP dulu kini berjejer rapi. Dan saat itulah kenangan itu muncul kembali, aku melihat sebuah buku Diary usang yang dulu kuisi bersama teman sebangku ku saat kelas 2 SMP. Perlahan kubuka Diary berwarna coklat bergambar beruang itu, tulisan antara dua orang sahabat yang membuatku sedikit kegelian karena bahasanya yang khas anak abege yang baru puber. Ababil kalau kata orang-orang zaman sekarang. Di dalam Diary itu kami sering curhat dan saling memberi solusi, walaupun tidak benar-benar berbentuk solusi.
"Rin, aku suka deh sama si Doni.." kata temanku Nita dalam Diary itu. dia menceritakan cinta monyet pertamanya itu padaku. Dan akupun melakukan hal yang sama. Aku juga menyukai lelaki bernama Doni itu, yang saat kuingat-ingat kembali aku lupa wajahnya.
Lembar demi lembar  kubuka halaman Diary itu, sampai akhir halaman, aku mengingat kembali janji kami. Kami bertukar nomor telepon rumah agar saat kami berpisah kami tetap saling mengingat. Setelah kelulusan SMP, kami memang sudah jarang kontak dan hingga saat ini kami benar-benar tidak pernah saling berhubungan lagi. Mengingat masa-masa manis dengan Nita aku memutuskan untuk menelponnya, mencoba menghubungi nomor yang mungkin sudah tidak bisa dipakai lagi. Tapi kupikir, apa salahnya mencoba.
Aku memijit angka-angka yang tertulis di Diary itu, dan.. tersambung. Tak lama setelah itu aku mendengar sebuah suara di sana.
"Halo. bisa bicara dengan Nita?" sapaku kepada sebuah suara di sana. Suara wanita yang terdengar seperti ibuku menyahut, mengisyaratkan pertanda bahwa dia tak ingin mendengar perkataan itu. Lama kutunggu jawabannya. Namun kemudian dia berucap "Nita sudah meninggal," kata suara itu. Aku mematung, sisa debu di diary itu kembali menusuk hidungku. Nafasku sesak.

DIA

Dering telepon itu menggangguku. Entah sudah berapa kali benda itu berbunyi, dia begitu keras kepala untuk tak membiarkanku mengacuhkan dirinya. Dia selalu berada di sekitarku beberapa hari ini, mengejarku di jalan, membuntutiku di kampus, dan menggangguku lewat dering telepon yang tak jelas maksudnya. Aku sudah hampir menyerah dengan sikap ngototnya itu, tapi keangkuhanku tak pernah memberikan ruang untuk menjadi wanita yang memiliki kemurahan hati di hadapan dirinya.
Sekeras apapun dia berusaha, aku tetap pada pendirianku. Sudah terlambat untuknya. Aku bukan lagi wanita yang bisa ia permainkan seperti kemarin, aku tak akan pernah memaafkannya.
"Anita" ia berucap di depanku. berdiri dengan gagahnya, mencegatku untuk melangkah melewati tubuhnya. ah ini menyebalkan. kenapa dia harus menghalangi jalanku.
"Anita aku mau menikah" 
kurasakan denyut jantungku berhenti sesaat. berganti dengan detakan yang jauh lebih kencang dari sebelumnya. Aku terdiam. Mematung. Tak kusangka dia akan mengucapkan kalimat itu begitu lancarnya. Enteng seperti aliran air keran di wastafel rumahku.
"Maafkan aku. Aku tahu tak seharusnya aku mempermainkan perasaanmu, tapi aku benar-benar mencintaimu"
sungguh urutan kalimat yang dia ucapkan tidak bisa kumengerti. 
"Orang tuaku yang menyuruhnya. Dia baru kukenal beberapa minggu lalu. Aku tidak berselingkuh Nit. sungguh. Aku mencintaimu, tapi aku juga tak mampu melawan permintaan kedua orang tuaku"
mulutku terkunci. tubuhku kaku. Aku tak mampu mengucapkan kalimat apapun. air di pelupuk mataku kian penuh.
aku hanya bisa tersenyum, membiarkan air mata mengalir. Tak kupedulikan tatapan orang-orang yang lalu lalang di sekitarku. Ini sudah keberapa kalinya dia mengatakan cinta dan maaf padaku secara bersamaan. Bersama dengan sakitnya hatiku, bersama dengan perselingkuhannya yang terus berjalan. Beberapa wanita yang dulu dia tinggalkan karena katanya mencintaiku. Dan kini ia pun meninggalkanku padahal katanya ia mencintaiku. Aku tak pernah mengerti dirinya. Cinta yang busuk ini seolah menertawakanku. Membiarkanku dalam penyesalan yang mendalam. Kenapa aku harus mempercayai lelaki ini? kata-kata manisnya hanyalah candu.  Janjinya hanya omong kosong yang tak pernah menjadi nyata. Aku benar-benar sudah menyadarinya. Cinta buta ini tak seharusnya kupertahankan lagi. Mulutku terbuka. Aku berusaha  mengucapkan kalimat untuk menjawab pertanyaannya. 
"brengsek. enyahlah"  
antara sadar dan tidak, aku mengucapkan kalimat itu. Biarlah dia menafsirkan dua kata yang kuucapkan barusan semau dia. Aku pergi, membiarkannya berdiri kaku, tatapannya kosong, situasi yang baru saja ku alami kini berbalik padanya. Aku puas. langkahku ringan. air mataku mengering seketika.