Jodoh?
Berbicara tentang jodoh, pasti semua orang sepakat kalau
“hal” itu adalah rahasia Tuhan. Apalagi bila mendiskusikannya dengan para
single di dunia. Mereka akan sepakat mengatakan bahwa jodoh adalah pasangannya
yang belum ditemukan, takdir Tuhan yang belum sempat mereka lihat, tulang rusuk
yang masih berada dalam kotak rahasia kehidupannya. Semua kerahasiaan itu
membuat mereka merasa terhibur walaupun di hati mereka timbul keinginan untuk
segera menemukan belahan jiwa mereka secepatnya.
Orang tua jaman dulu berkata kalau “jodoh itu jorok”. Bukan
berarti jodoh kita adalah seseorang yang jarang mandi, kucel, dekil, ga bisa
dandan, bajunya ga pernah ganti setahun atau seabreg kejorokan lainnya. Tentu
saja bukan. Yang dimaksud jorok di sini adalah kita akan bertemu dengan jodoh
kita dalam kondisi apapun, seburuk apapun situasinya, dan se”tidak
menyenangkan” apapun tempatnya. Bisa jadi kita menemukan jodoh kita saat sedang
berkunjung ke tempat saudara, pengajian, pesta kondangan, atau bisa jadi kita
menemukannya saat sedang menyeberang jalan atau di toilet umum misalnya. Huah…
itu bukan hal yang tidak mungkin kan? Bahkan kakak sepupuku menemukan jodohnya
via telepon yang bahkan tidak membuat mereka mampu berbicara sampai durasi
sampai lima menit. Ketika sang lelaki tak sengaja mendengar suaranya via
telepon ia jatuh cinta dan akhirnya minta diperkenalkan kepada sahabatnya (yang
seharusnya ia telepon). Hanya beberapa bulan bahkan minggu, akhirnya sampailah
mereka dalam bahtera rumah tangga bernama pernikahan. Hm.. that’s amazing!
Right? Percayakah kalian kalau sekarang mereka sudah mempunyai 6 anak? setiap
ada jeda beberapa bulan setelah kelahiran anak mereka, sang istri sudah
mengandung kembali. Haha. Subur.
Dan di sini aku tidak akan menceritakan lebih lanjut
kehidupan harmonis mereka, aku akan sedikit membubuhkan cerita-cerita nyata ke
dalam satu cerita fiksi yang akan kutulis, mudah-mudahan dapat disukai oleh pembaca
semuanya. Cerita tentang pertemuan, pernikahan, dan mungkin hingga membina
rumah tangga. Walaupun secara pribadi aku belum pernah merasakan membina rumah
tangga secara langsung.
Oke cekiibroot……… J
Bab Satu (pertemuan)
Clak..
Hmm kok kayaknya hujan ya,
Aku yang sedang asyik membaca buku di sekitar masjid kampus
terganggu aktivitasnya disebabkan oleh tetesan air yang tak sengaja sampai di
sebagian rok ku. Rasa-rasanya air dingin ini benar-benar menusuk sampai kulit
kakiku. Posisi duduk yang sedang bersila ini pun harus rela ku selonjorkan
sambil tetap mendongak ke atas. Masa iya bocor gentengnya. Namun apa dikata,
tangan yang berusaha meresapi air hujan yang tadi menetes tak juga merasakan
basahnya. Yang kutemukan hanya cicak yang sedang sibuk kejar-kejaran ala film India
dengan nyamuk nakal, makanannya untuk malam ini. Lidahnya yang terjulur tampak
kesal karena tak segera menangkap mangsanya. Membuatku sedikit melengkungkan
sudut bibirku ke atas. Hm. Bahkan binatang sekecil itu harus berburu menjemput
rejekinya dengan berpeluh keringat, walau aku tak pernah benar-benar tahu
bentuk keringat cicak seperti apa. Jelas saja, cicaknya ga pernah kelihatan
basah di leher atau ketiaknya. Gimana bisa tahu. Hm kira-kira kalau cicak
keringetan gimana bentuknya yah, apa sama-sama bau kayak manusia? Atau lebih
bau lagi? Oh iya aku gak pernah ngendus cicak, baunya kayak apa ya? Oh iya
semut juga kayaknya ga ada keringetnya deh. Tapi…
Deg. Seketika aku tersadar, kulirik rok berwarna cream yang
kukira tadi kena tetesan air hujan. Dahiku merengut, mulutku terbuka. Tanganku
melebarkan rok yang terkena kotoran nista tersebut. CICAK KEPARAT.
“Ariniiiiiii… huaaaaa!!” aku berteriak saat melihat Arini
temanku berjalan setelah melaksanakan kewajiban Isyanya. “Cicaknya pup di rok
aku nih! Padahal roknya baru dipake tadi sore….” Kupeluk lengan Arini yang
berwajah innocent yang sedang bingung dengan tingkahku. Beberapa detik kemudian
raut wajahnya berubah, seulas senyum tiba-tiba muncul di bibir penuhnya.
“hahahahah…..” dia tertawa. Sial. Bukannya menghibur.
“Cicaknya demen sama kamu kali…. Hihihi” Arini masih
memegang perutnya saat melihat wajahku merengut tak suka melihat candaannya.
“Nih buat kamu nih!!” aku mendekat-dekatkan rokku yang
terkena kotoran cicak tersebut ke arahnya, refleks dia menjauh, dahinya
mengernyit tak suka. “ih najis..tau”. Melihat reaksi Arini, aku tergoda untuk
melakukan aksi kejar-kejaran seperti yang dilakukan cicak dan nyamuk beberapa
menit lalu. Kejar-kejaran ala Tom and Jerry pun berlangsung, aku dan Arini yang
sibuk lomba cepat-cepatan memakai sepatu kemudian setengah kejar-kejaran
menjauhi masjid yang tadi kami pakai untuk sholat. Hm tepatnya Arini, karena aku
sedang tak sholat. Semuanya berlangsung alami, kami memang seperti anak-anak
saat bercanda seperti ini. Kampus yang sudah sepi saat malam menjelang selalu
dijadikan tempat menyepi bagi aku dan Arini karena kost-an kami yang berada
dekat kampus. Aksi kejar-kejaran itu pun
berlangsung ke adegan cubit-cubitan. Arini mencubit pinggangku dan lengannya
tak kalah liar kucubit. Sungguh, image yang kami (tepatnya Arini sih, aku
enggak) punya sebagai cewek tenang dan anggun sirna saat kami sedang berdua.
Balasan cubitan itu sudah siap kuterima dari Arini sebelum kemudian ia
menyadari sesuatu dan menghentikan aksinya lalu berdehem. Aku yang belum
sepenuhnya memahami sikap Arini tertawa sambil melakukan gerakan melangkah
mundur. Khawatir kalau Arini akan melaksanakan serangan tiba-tibanya. Dan
adegan itu terjadi.
Adegan yang pernah kutonton dalam film-film India sewaktu
aku kecil. Wanita, tepatnya diriku ini tanpa sengaja menubruk sesuatu yang
keras di belakangku, dan keseimbangan pun hilang, berganti menjadi adegan yang
dijadikan bukti teori gravitasi Einstein saat melihat apel jatuh dari pohon.
Bila diibaratkan, apel itu aku, yang
jatuh menempuk sesuatu yang hm cukup nikmat saat kutimpa. Tak ada lantai ubin
yang keras yang menghantam tubuhku. Justru sebaliknya, aku merasakan tubuh
manusia menahanku agar tidak terlalu semangat menindihnya. Garis bawahi HAMPIR
MENINDIH. Dan ini harus dimasukkan ke dalam daftar hal-hal memalukan dalam
hidup yang pernah kualami.
Refleks aku berbalik. Melihat siapakah manusia baik hati
yang rela menahan tubuhku untuk tidak terjatuh lebih dalam ke ehm, pelukannya,
walaupun pada akhirnya bukan pelukan yang kudapat, tetapi seseorang yang
berusaha untuk tidak memelukku tapi tetap menahan tubuhku. Sikunya sebelah kiri
menahan tubuhnya agar tidak menempel ke tanah dan tangan kanannya memegang
pundakku. Aku memegang kedua lututnya yang tertekuk, kaget dengan aksi
menegangkan tersebut. Pandangan kami bertemu, mengirimkan sinyal-sinyal cinta
lewat mata hingga sampai di muara bernama hati, debaran itu terjadi, aku
tersipu. Seketika manusia-manusia berkostum India muncul satu-persatu dari
balik pohon sambil menari-nari, pundaknya bergoyang seirama pantatnya
mengelilingi kami yang sedang berpandangan. Lagu kuch-kuch hota hai pun
mengalun.
Oke, ini bercanda. Itu hanya khayalanku yang terkontaminasi
film yang seharusnya tidak kutonton waktu masih abege tersebut. Kejadian yang
sebenarnya tidak seperti itu, aku berpandangan dan wajahnya mendekat, tiga
sentimeter kurasa, sedekat itulah jarak kami sekarang, wajahnya semakin maju,
sedikit demi sedikit, aku hanya diam mematung, tak tahu harus mundur atau
bahkan maju karena kesal terhadap lambanya ia bersikap. Memangnya ini adegan slow motion?.
Lama amat! Hingga akhirnya jaraknya hanya tinggal sedikit sekali antara kami,
lebih dekat dari yang tadi.. kami pun berci..berci..
STOP! Jangan biarkan otak kotorku ini menguasai tubuhku
lagi. Biarkan ia berpikir dengan waras dan benar.
Astaghfirulloh.. aku beristighfar dalam hati, berharap tidak
ada khayalan nista itu lagi yang berkelebatan di otakku walau hanya satu detik.
Aku menggelengkan kepalaku menyadari
kalau lelaki yang tak sengaja kutabrak itu sudah berdiri menepuk-nepukan
pantatnya yang kukira kotor karena peristiwa jatuh tadi. Arini yang kaget
dengan kejadian itu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku
menunduk. Wajahku panas. Memalukan. Bahkan di saat-saat gawat seperti tadi
sempat-sempatnya aku memikirkan hal tak pantas.
“Kamu ga papa?” Arini menyahut, memecah kekakuan yang
terjadi.
“Ehm. Engga..” kulirik pria itu, dia menunduk, menyembunyikan
wajahnya yang tidak sempat kulihat jelas saat kami tak sengaja berpandangan
selama satu detik tadi. Iya hal sebenarnya adalah kami berpandangan dan dia
buru-buru berdiri. Normal. Ga ada adegan slow
motion atau menari India seperti
khayalanku tadi. Mukanya terangkat, dia memandang kami dan sedikit tersenyum.
Pertama kali kulihat wajahnya dengan jelas, di bawah sinar lampu jalanan
kampus, aku menatapnya, bibir tipisnya, kulit cokelatnya, alis tebalnya, dan
sorot matanya yang tajam, seperti mata Hyuuga dalam film Captain Tsubasa yang
kutonton dulu. Astaghfirulloh. Kutundukan pandangan berharap tidak terlalu
larut melihat wajah beningnya itu terlalu lama. Takut akan menjadi dosa bila
itu kulakukan. Kenapa dosa? Karena bisa jadi seperti khayalanku tadi, dari mata
bisa turun ke hati. Bisa timbul perasaan-perasaan yang seharusnya tidak
dirasakan oleh dua insan yang belum halal dan belum tentu bisa jadi halal.
“Maaf..” ucapnya. Cubitan itu pun terasa kembali di
lenganku. Aku melotot menyadari Arini yang sudah duluan memelototiku.
Mengirimkan isyarat telepati yang biasa kami gunakan saat-saat genting seperti
ini. Dan pelototinnya tadi berarti Kamu-harus-minta-maaf, dan kubalas dengan
cengiran tanpa dosaku.
“Aaa.. itu. Saya yang seharusnya minta maaf pak, tadi
benar-benar ga sengaja.” Ucapku sedikit memelas agar kelihatan menyesal dengan
tingkahku.
Mata lelaki itu sedikit melotot saat kulirik sekilas. “Iya,
saya juga salah tadi gak lihat-lihat jalan. Malah asyik melamun.”
Ingin sekali kutanyakan dia melamun apa sampai tidak
menyadari keadaan kami yang begitu heboh tadi.
“Iya, gapapa mas, sepertinya ini sudah terlalu malam, kami
permisi dulu.” Ucap Arini mengendalikan situasi. Lenganku di tariknya untuk
menjauh dari tempat kejadian perkara meninggalkan lelaki tadi. Namun ingatanku
kembali membuat otakku bekerja.
“Mas..!” kupanggil ia,
“itu nanti celananya langsung dicuci yah, rokku kena pup
cicak tadi.” Teriakku pergi meninggalkan ia dengan mulutnya yang sedikit
terbuka, berdiri sendirian diterangi lampu di jalanan kampus itu.
BAB II (Akhtar dan Fadli)
Matahari mulai berpindah tempat dari yang semula terbit di
barat, kini sudah mencapai tepat pada posisi hampir di atas kepala kita,
pertanda sudah setengah waktunya ia pergunakan untuk menyinari manusia di
belahan bumi ini. Begitu pula di sini, sebuah taman kanak-kanak berisi
makhluk-makhluk menggemaskan tampak asyik bermain sambil menunggu jemputan
mereka, ada yang bermain jungkat-jungkit, perosotan, dan berbagai permainan
khas anak yang disediakan di halaman depan sekolah taman kanak-kanak.
Satu-persatu orang tua anak-anak itu mengambil makhluk itu untuk pulang kembali
ke rumahnya. Tentu saja, hampir semuanya berjenis kelamin wanita, jarang sekali
terlihat seorang laki-laki menjemput anaknya di sekolah Taman Kanak-kanak.
Rata-rata ayahnya sedang sibuk mencari nafkah sehingga tak sempat melakukan
ritual jemput-menjemput. Lain sekali dengan wanita-wanita yang berstatus “Ibu”.
Kalian pasti setuju bahwa sebagian besar
ibu-ibu itu selalu menyempatkan diri dan meluangkan waktu agar anak
mereka bisa pulang dijemput sang Ibu.
Setelah hampir semuanya pulang, kini tinggallah seorang
lelaki kecil sedang berjongkok di pinggir perosotan yang tadi ia mainkan
bersama temannya. Anak itu tampak gusar karena sekarang ia hanya tinggal
sendiri, tak ada teman, jemputan pun belum datang. Wajahnya merengut, pipinya
menggembung tanpa mengurangi kelucuan alami yang ia miliki. Rambutnya
acak-acakan, bulir-bulir keringat tampak muncul kecil-kecil di dahinya, terang
saja, matahari bergeser sedikit lagi, kini posisinya sudah tepat berada di atas
kepala manusia. Menandakan teriknya siang itu. Jari anak itu menunjuk tanah,
membentuk pola melingkar menggunakan lidi yang ia cabut dari kumpulan lidi
bernama sapu saat hendak keluar dari kelasnya. Matanya merah, dan sedikit penuh
dengan air yang sedari tadi ia tahan. Ia tahu, sebagai seorang laki-laki ia
tidak boleh cengeng hanya gara-gara hal sepele ini.
“Fadli..” sebuah suara yang ia kenal membuatnya mendongak.
“Kamu belum dijemput sayang?” ucap suara lembut itu.
“Belum Bu. Kebiasaan deh ayah ngalet gini.” Hm ngaret
maksudnya, gara-gara belum bisa mengucapkan huruf “R” dengan benar ia
mengantinya dengan huruf “L” menurut pada nalurinya.
Perempuan berkerudung hijau toska itu tersenyum dan mengusap
kepala sang anak. “Ibu temenin yah? Duduk di sana aja gimana? Di sini panas
sayang.” Jarinya menunjuk sebuah kursi di bawah pohon. Terlihat teduh, nyaman
untuk digunakan ketika cuaca panas begini. Mendengarnya anak itu mengangguk,
menyambut uluran tangan sang Ibu Guru untuk menuntunnya ke tempat yang dituju.
Tak lama sebuah motor matic masuk ke dalam halaman sekolah,
pengendaranya turun dan segera membuka helm hitam yang dipakainya. Mengibaskan
rambut hitamnya yang acak-acakan dan mengusapnya ke belakang, menyisir melalui
sela-sela jarinya. Fadli tersenyum, berlari meninggalkan ibu gurunya dan
menghambur ke pelukan lelaki itu. Hm ternyata ada juga laki-laki yang bersedia
meluangkan waktu untuk anaknya selain Ibu-ibu yang tadi menjemput teman-teman
Fadil.
“Papaaaaaaaaa…” teriaknya. Lelaki itu membalas senyuman sang
anak, dengan tangannya ia membawa tubuh Fadli ke dalam gendongannya. “Maaf boy,
papa telat, tadi ada kerjaan dulu di kantor.” Si anak merengut kembali. “Kamu
pasti sudah lama menunggu?benar?”
“Nggak lama Pa. tapi lamaaaaaaaaaaaaaaa banget. Papa
mau bikin aku lumutan yah?” jawab Fadil
sambil berkacak pinggang di gendongan ayahnya. “Haha.. lumutan itu apa sayang?”
Papanya menyeringai. Heran dengan anaknya yang mendapat kosakata baru, bahasa
orang dewasa.
“Emang lumutan altinya apa Pa?” si anak tampak berpikir
keras dengan kata yang baru saja ia ucapkan. Dan lelaki itu terbahak melihat
anak sok tahunya yang selalu mengucapkan kata-kata yang baru saja ia dengar ke
dalam percakapan mereka. “Udah nanti Papa jelasin di rumah. Kita pamit dulu
sama Bu Guru yuk.” Fadli mengangguk dan berpamitan kepada perempuan yang
dipanggilnya Bu Guru sebelum kemudian mereka pulang dengan motor sang Papa.
“Makasih ya Bu. Maaf loh selalu merepotkan.” Ucapnya dengan
senyum menawan yang sepertinya ditularkan kepada Fadli, bedanya lelaki itu
sudah dewasa dan Fadli masih anak-anak sehingga kesan yang didapat penikmat
senyum pun berbeda. Kalau ayahnya tersenyum, maka wanita akan langsung jatuh
terduduk saking terpesonanya dan kalau Fadli tersenyum, maka pipinya akan jadi
lomba cubitan orang-orang di sekitarnya karena sangat lucu. Wanita itu
tersenyum, mengucapkan salam, pipinya merona melihat keramahan ayah Fadli yang
tak pernah berkurang sejak Fadli masuk TK.
Wanita itu memperhatikan kedua pria yang pergi berlalu dari
pandangannya. Kagum akan sikap sang ayah yang sangat menyayangi sang anak.
Bahkan hampir tak pernah melewatkan waktunya untuk menjemput buah hati
tercinta.
Sementara itu, dua lelaki beda generasi terus menyusuri
jalan raya, masuk ke dalam kerumunan kendaraan yang berhimpitan di sepanjang
jalan. Ada yang berlomba untuk sampai di baris depan, menyalip dan mengambil
jalur zig-zag. Ada juga yang dengan sabar mengikuti jalur yang ada, sambil
berdoa berharap kepadatan itu segera berakhir, begitu pun dengan lelaki itu,
kebiasaannya membonceng Fadli membuat ia sangat berhati-hati dalam menjalankan
laju motornya. Hingga dua puluh menit berlalu, jalan yang mereka lalui sudah
mulai lenggang, lelaki itu mulai menambah kecepatan motornya walau masih dalam
kecepatan aman, ia melirik jam di tangan kirinya, berharap masih ada waktu
untuk merampungkan pekerjaannya yang tersisa di kantor. Namun tanpa disadarinya
seorang wanita berjilbab sedang merentangkan sebelah tangannya, isyarat ia
ingin menyeberang, dan langsung disambut dengan laju kecepatan para pengendara
yang melambat. Lelaki itu tak menyadari bahwa kendaraan yang hendak ia salip
melambat karena akan ada penyeberang jalan, ia
mengira mendapat izin dari pengemudi untuk menyalip. Dengan mantap, ia
menambah kecepatan tanpa tahu bahwa apa yang dilakukannya akan berlanjut pada
peristiwa yang tak pernah ia inginkan, saat hendak menyalip, seorang wanita
muncul dari balik kendaraan itu, berjalan sambil tetap merentangkan tangannya.
Jantung lelaki itu berdetak cepat, tak sempat ia memperlambat kecepatannya, rem
pun dijadikan jalan keluar. Rem mendadak yang tidak diduga sang anak membuatnya
terjungkal kebelakang, menabrak tubuh wanita muda yang hendak menyeberang itu.
Menyisakan kekagetan para pengendara dan pejalan kaki yang menyaksikan
peristiwa tersebut. Andai waktu dapat berhenti, pasti lelaki itu dengan senang
hati memanipulasi keadaan dan mengembalikan semuanya ke tempat semula, andai
adegan slow motion dapat terjadi di dunia nyata. Mungkin ia dapat menghindari
kejadian itu. Tapi ia sadar, semua sudah terjadi, kegelapan menyambut mereka.
Ketiganya pingsan, menyisakan sejuta kekagetan dan rasa penasaran para saksi
mata yang tak lama kemudian mengerubungi mereka.
***
“Rin.. cowok itu cakep yah.” Ujarku tiba-tiba.
“Cowok yang mana?” dahi Arini berkerut menanyakan kejelasan
maksudku.
“Itu loh, yang kemaren nabrak aku..hehe.” jawabku
cengengesan, seketika itu pula mata Arini membelalak, mulutnya melongo dan
sebuah jitakan mampir di kepalaku. “Duh. Kebiasaan kamu Rin, maen kekerasan.”
Aku menggerutu tak terima dengan perlakuan semena-mena sahabatku itu.
“Hush. Kamu tuh. Jangan keterusan dipikirin, entar jatuh
cinta loh. Terus koreksi, yang nabrak itu kamu! bukan cowok itu! Ga usah
memutar balikkan fakta!”
“Dihhh… dia juga nabrak aku kale.. mana ada cowok
malem-malem di tempat kampus yang sepi gak lihat gadis perawan heboh kayak
kita. Harusnya dia menyingkir dong, malah sengaja ngedeketin trus sok-sokan kena tabrak gitu. Gak asik banget.”
Bantahku tak terima dengan perkataan Arini. Sambil terus-menerus mengotak-atik smartphone kesayanganku dengan sentuhan
kasih sayang.
“Oo.. jadi maksud kamu dia yang salah gitu? Hih. Jangan
su’udzon (buruk sangka) gitu! Siapa tahu kan dia lagi ngelamun atau gimana
gitu. Lagian kita juga kan yang salah, udah tahu jalan umum malah dipake buat
kejar-kejaran gitu.” Hmm. Gitu deh si Arini. Saking baiknya, selalu saja
menjadi manusia yang menyalahkan diri sendiri. Bertolak belakang denganku yang
selalu berusaha membela diri. Kepribadian kontras kami bukannya menjadi
benturan dalam hubungan persahabatan ini tapi justru malah membuat kami semakin
dekat. Apapun yang kami bicarakan,
selalu saja ada bentroknya, walaupun tak sampai pake urat sih ngomongnya.
Karena kita tahu, menghargai pendapat lebih penting daripada memaksakan
pendapat kita kepada orang lain.
“Eh tapi gitu-gitu juga romantis loh kita ketemuannya. Kayak
di film-film gituuu. Trus cowoknya cakep pula. Jangan-jangan kitaa..”
“Jodoh gitu? Dih, yang bener aja. Seumur-umur nih ya. Aku ga
pernah denger kisah nyata yang menceritakan cowok dan cewek tabrakan gak saling
kenal akhirnya nikah! Boro-boro nikah, jadi temen pun kayaknya ga ada deh.
Lebay tahu gak. Terlalu didramatisir.” Arini mencibir dengan segala
ketidaksetujuannya perkara jodoh ini.
“Kata mama aku nih ya. Jodoh itu jorok Rin. Mau tempatnya di
goa juga bakal ketemu deh si jodoh kalo emang udah takdirnya.” Kataku tak mau
kalah.
“Bukannya gitu, kita kan…”
Drrttt..drrtt.. saat itu juga perkataan Arini terpotong
karena suara getaran ponselku. Panggilan masuk dari Mama segera kuangkat tanpa
babibu.
“Halo Ma?
Waalaikumsalam. Iya Ma? Mba Gadis? Serius? Innalillahi.. yaudah aku kesana.
Rumah sakit mana? Oh oke oke. Assalamualaikum.”
Percakapan singkatku mengundang lirikan tajam dari Arini.
“Mama kamu kenapa?” sudah kuduga dia akan bertanya begitu.
“Mamaku baik-baik aja. Cuman Mbak Gadis kecelakaan Rin.
Sekarang aku harus ke rumah sakit.”
“Innalilllahi.. aku ikut yah? Boleh?”
“Ayok. Rin. Kita cepetan.” Jantungku berdentam keras.
Mendengar kakak kesayanganku masuk rumah sakit. Apalagi mama bilang tadi
tertabrak motor. Ya Alloh. Semoga dia tidak kenapa-napa. Aku takut terjadi hal
yang tak diinginkan pada kakak sepupuku tersayang.
Doaku dalam hati, berharap semuanya akan baik-baik saja.
Gadis adalah sepupu dekatku dari adik Mama yang telah meninggal. Kami tinggal
bersama sejak dia di bangku SMA. Umurku hanya terpaut dua tahun di bawahnya.
Memiliki ibu yang cantik dan ayah yang berwajah di atas rata-rata membuatnya
memiliki wajah dan tubuh yang diidam-idamkan setiap wanita. Banyak teman lelaki
Kak Gadis berharap dapat menjadi kekasihnya. Terang saja, siapa yang tak akan
tertarik pada wanita berambut ikal bergelombang dengan bibir penuh, alis
melengkung alami, mata bulat seperti kelereng dan kulit kuning langsat, tinggi
badan 166 cm, oh iya dia pernah menjadi cover majalah sekolah dan berhasil
memikat hampir seluruh laki-laki SMA di sana. Jujur, aku pun sedikit iri
dengannya. Walaupun kami sepupu, tak ada kemiripan sama sekali dengannya. Kulitku
sawo matang, bibir tebal, rambut hitam, tinggi badan 155 cm dan hm mungkin bulu
mata sedikit lebat. Kontras sekali dengan kakakku itu.
Namun kehidupannya tak sebaik
wajahnya. Kecantikannya tak menjadikan dia seperti wanita normal lainnya. Dia
pernah menceritakan keluh kesahnya padaku sewaktu kami masih remaja SMA.
Kesenangannya sebagai gadis yang cantik, harus tertimbun karena banyaknya orang
yang tak menyukainya. Kalian pasti tahu teori “sepasang”. Ada siang maka ada
malam, ada perempuan pasti ada laki-laki, ada kiri dan ada kanan. Begitupun
yang dialami Kak Gadis, banyaknya orang yang mengagumi dia, semakin banyak pula
yang membenci. Walaupun dia mengaku tak tahu penyebabnya. Tapi perlakuan
seorang pembenci lebih menyakitkan bila dilakukan oleh banyak orang, apalagi
bila orang yang dibenci adalah remaja SMA seperti Kak Gadis, masih labil, masih
belum bisa bersikap dewasa. Jangan kira hanya di sinetron saja terjadi pem-bully-an, bahkan tontonan pun sepertinya
sudah dijadikan contoh oleh para penikmatnya. Aku melihat sendiri ketika kakak
kelas Kak Gadis menjadikannya target pem- bully-an
di sekolahnya. Memang tak ada aksi lebay seperti terror di meja kelas atau
menyembunyikan baju olahraga selagi dia disiram air kotor di toilet sekolah.
Namun lebih kepada cibiran yang ia terima di setiap sudut sekolah. Kehidupannya
sebagai anggota OSIS pun dimanfaatkan sebagai ajang untuk melakukan segala hal
yang diperintahkan oleh kakak kelasnya. Hm satu lagi. Dia pernah didatangi enam
kakak kelas dan dibentak-bentak di belakang sekolah hanya karena dianggap
merebut pacar orang.
Tidak hanya itu, lelaki yang
sempat jadi pacarnya hanya tertarik kepada tubuhnya saja. Mereka dengan
seenaknya datang dan pergi. Ayahnya meninggal karena penyakit jantung saat ia
masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya pergi menyusul saat ia masih di
bangku SMA, tepatnya kelas satu atau kalau zaman sekarang disebut kelas X.
Kalau dibandingkanku, mungkin aku
termasuk manusia yang beruntung. Ayah ibu masih lengkap, hidup lurus, tak ada
beban, kalaupun sedikit tersandung masalah, itu masih dibilang kecil dibanding
masalah yang dialami Kak Gadis. Aku salut padanya, dikala ia mendapat cobaan
yang begitu berat, ia masih dapat bertahan hingga saat ini.
“Ghi, ayo turun.” Seseorang yang
kukenali sebagai sahabatku Arini sedang berusaha menyadarkanku dari lamunan
tentang Kak Gadis. Oh iya aku belum sempat mengatakan, namaku Ghania Faranisa
Azni, orang memanggilku Ghia.
Kukerjapkan mataku sebagai tanda aku
sudah kembali berpijak di bumi. Meninggalkan semua lamunanku dan menyimpannya
ke dalam memori yang sewaktu-waktu akan kubuka kembali. Bergegas kulangkahkan
kaki memasuki gerbang rumah sakit menuju kamar yang sudah ditunjukkan oleh
resepsionis yang tadi kutanyai. Tepat ke lantai tiga aku menuju, sayup-sayup
kudengar seseorang menjerit histeris. Sepertinya ku kenal suaranya. “Rin, itu
kayak suara Kak Gadis deh” kulirik wajah Arini yang sepertinya tampak tegang
dan penasaran. Sama seperti yang kurasakan hingga sampailah kami di depan pintu
tempat Kak Gadis dirawat. Pandanganku kembali tertuju ke depan. Aku melihat
seorang lelaki keluar dari kamar Kak Gadis. Sebelum kemudian dia mendekat dan
melewatiku menuju lift yang tadi kunaiki. Sempat kulihat wajahnya, laki-laki
itu memakai perban di kepalanya dan gips menyangga tangannya. Raut wajahnya
kusut, sekitar dagunya memar ditempeli plester, matanya merah, langkahnya
gontai dan sedikit pincang. Dia melirikku sekilas saat kami berpapasan,
menyisakan sejuta pertanyaan di hatiku tentang siapa sosok tersebut.
***
BAB III (Gadis)
Putih
Itulah yang dia lihat pertama kali, atap, dinding dan semua
hal di ruangan itu didominasi warna putih. Kepalanya sedikit berontak ketika
lelaki itu memaksa otaknya mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum
berada di ruangan putih ini. Belum lagi, orang-orang berpakaian putih yang ia
yakini berprofesi sebagai dokter dan perawatnya
sedang mengelilinginya membuat ia yakin bahwa tempat ini adalah rumah
sakit.
Seingatnya, dia sedang menjemput anaknya pulang sekolah
sebelum kemudian ia menyadari, bahwa dia dan motornya telah menabrak seorang
wanita, hm dan..
“Astaghfirulloh…” ujarnya meringis, memegangi kepalanya yang
terbalut perban yang tiba-tiba berdenyut hebat. “Pak! Jangan dulu bergerak ya”
perintah suster itu dengan nada lembut. Namun lelaki itu tak menghiraukannya,
ia sadar ada hal yang lebih penting dari tubuhnya. Anaknya.
“Fadli mana? Dia dimana dokter? Anak saya baik-baik saja
kan?” naluri seorang ayahnya mengatakan
bahwa dia harus segera bertemu anaknya.
“Pak Akhtar, anda tidak perlu khawatir, kondisi anak anda
lebih baik dari yang kami perkirakan, dia hanya mengalami shock sedikit. Hanya
luka ringan, bahkan lebih baik dari yang anda alami.” Jawab dokter itu.
Lega lah ia, mendengar kondisi anak semata wayangnya itu.
“Saya ingin menemuinya dok, boleh? Dan..kondisi wanita itu bagaimana?”
Dengan ketenangan yang terpancar dari wajah dan bahasa
tubuhnya, dokter itu mengatakan bahwa Fadli sempat sadar dan menangis sambil
memanggil-manggil ayahnya, namun kemudian ia kembali tenang tertidur setelah
dikatakan bahwa ayahnya sedang diobati. Tak ingin membuang waktu, Akhtar segera
mencari Fadli sambil terpincang-pincang. Tak peduli dengan larangan dokter dan
suster yang berada di ruangan itu. Dengan tak rela sang dokter menunjukan
tempat Fadli dirawat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat punggung
Akhtar yang semakin jauh dari kamar rawatnya.
“Papaa..” teriakan Fadli memenuhi ruangan tempatnya dirawat,
ia berlari ke pelukan ayahnya berharap dapat digendong seperti yang biasa
Akhtar lakukan. Namun yang terjadi adalah Akhtar yang meringis kesakitan ketika
Fadli tak sengaja menekan tangannya yang terbalut gips.
“Sakit ya pa?” raut cemas tergambar di wajah bulat berambut
ikal dan berpipi gembul tersebut. Akhtar tersenyum senang melihatnya.
“Papa baik-baik saja sayang. Cuma lecet sedikit.” Hiburnya.
“Tapi tangan Papa kenapa diiket gitu, kayak lagi gendong
bayi.” Tunjuknya kepada tangan kanan Akhtar.
“Hahaha.. iya, besok juga sembuh sayang. Anak papa jangan
khawatir. Papa kan kuat kayak Spiderman.”
“Bukan Spidelman. Tapi Hulk Pa. Spidelman kelempeng gitu,
kulus, Fadli gasuka.” Fadli mendengus, pipinya menggembung.
“Hulk itu jelek sayang. Masa kolor ijo dibandingin sama Papa
yang ganteng.”
“Loh papa kan suka pake kolol ijo kalo di rumah.”
“……”
Perdebatan tak penting antara ayah dan anak pun berakhir dengan
skor 0-1. Nilai kosong untuk Akhtar dan
1 untuk Fadli. Namun interaksi itu tak berlangsung lama, karena Akhtar ingat
pada wanita yang tak sengaja ditabraknya. Dokter bilang wanita itu ada di
lantai tiga rumah sakit. Kakinya terluka dan patah, tapi sejauh ini taka da
yang perlu dikhawatirkan. Dia juga masih pingsan, selain itu pihak keluarganya
sudah ada yang datang melihat kondisinya.
“Boy, Papa mau mengunjungi seseorang dulu. Kamu tunggu di
sini yah.” Fadli mengangguk dan berjanji akan menunggu sampai ayahnya kembali.
Tak buang waktu, Akhtar segera menuju lantai tiga untuk segera melihat
kondisinya dan meminta maaf atas kelalaiannya dalam mengendarai motor siang
itu. Dia merasa telah begitu ceroboh karena telah menyebabkan semua ini
terjadi. Bahkan kecerobohannya ini bisa mengakibatkan hal yang lebih parah.
Mungkin salah satu di antara kita bisa saja meninggal. Memikirkan hal itu
membuat Akhtar bergidik dan beristighfar. Dalam hati dia berjanji tidak akan
menjadi orang ceroboh lagi dan lebih berhati-hati dalam mengemudikan kendaraan.
Sekarang dia sudah sampai di depan pintu masuk, tangannya
terulur membuka gagang pintu dan menggesernya ke samping kanan hingga ruangan
itu terekspos di pandangannya. Tanpa pikir panjang Akhtar masuk ke dalam,
menuju ranjang tempat wanita itu berbaring. Untuk pertama kalinya, dia
memperhatikan wanita..( hm sepertinya dia lebih cocok dipanggil gadis) yang
sudah dilukainya beberapa jam lalu. Bulu matanya panjang dan lentik, bibirnya
penuh, dan kepalanya tampak tertutup kain besar berwarna merah muda. Cantik,
pikir Akhtar. Memandangnya tak kan membuat dia bosan sepertinya.
“Maaf.” Gumamnya, hampir tak terdengar. Jemarinya mengusap
kepala wanita itu hingga kelopak mata gadis itu bergerak-gerak. Sebelum Akhtar
sadar, mata gadis itu terbuka, beberapa kali dia mengerjapkannya dan pusat
pikirannya langsung teralih kepada sosok yang ada di hadapannya. Lelaki itu
dengan matanya yang sipit, hidungnya yang bibirnya yang sedikit tebal di bagian
bawahnya, bentuk wajahnya yang lonjong dan dia sedang mengusap kepalanya.
Wajahnya begitu dekat. Hembusan nafasnya mengusap pipinya perlahan.
Seketika bayangan masa lalu itu berkelebatan di kepalanya,
pandangannya kabur, seolah ada tombol replay di otaknya yang tidak sengaja
tertekan. Menampakan adegan-adegan yang tak ingin dia lihat. Tubuhnya
menggigil, lengannya melingkar otomatis bersama lututnya yang menekuk. Bibirnya
bergetar, matanya mengeluarkan air bening yang mengucur deras.
“Ja..ngan,” dia mendesis pelan.
“Jangan sen..tuh..” suaranya semakin mencicit. Matanya
semakin merah. Ketika sebuah lengan kokoh memegang tangannya, tubuhnya
beringsut, menangkis dan bergetar semakin hebat.
Akhtar terkejut bukan main melihat reaksi gadis
dihadapannya. Saat dia berusaha menenangkan gadis itu dengan memegang
tangannya, gadis itu malah menjerit makin histeris. Mulutnya meracau tak jelas.
Berteriak dan mengusirnya pergi.
Apakah aku telah
menakutinya? Pikir Akhtar. Egonya benar-benar terlukai. Padahal selama ini,
para wanita selalu senang berada di dekatnya. Pipinya merona dan selalu
tersipu. Tapi gadis ini malah berteriak seperti dia akan menerkamnya saja. Atau
kelakuannya yang tak sopankah yang membuat gadis ini bereaksi dramatis?
Akhtar teringat saat tangannya otomatis mengusap-usap kepala
gadis itu. Hm itu bukan salahnya. Itu salah dia sendiri berekspresi seperti itu
minta diusap. Pikiran Akhtar semakin melantur. Mencoba menghibur diri. Namun
derap langkah kaki yang terdengar semakin mendekat membuat otak ngawurnya
berhenti berspekulasi. Dokter wanita berambut sebahu, suster dan ibu-ibu
berjilbab cokelat muda menghampiri kami.
Wajah ibu-ibu itu menatapku sekilas, namun segera beralih
memeluk gadis itu.
“Sayang. Jangan takut, ini ibu nak!” ucapnya. Suaranya
bergetar seperti menahan tangis. Namun gadis itu tak menggubris ibunya. Dia
malah makin menjerit histeris hingga dokter wanita itu turun tangan dan
menyuntiknya. Gadis itu kembali tak sadarkan diri.
Akhtar semakin sadar dengan kekacauan yang tak normal ini.
Wanita paruh baya yang menangis sambil memeluk gadis itu terlihat sangat
tersiksa.
“Bu, maaf..” wanita itu menoleh kepada Akhtar dan sedikit
tersenyum. Menjeda tangisnya, sadar akan keberadaan laki-laki yang sedari itu
tinggal dengan raut wajah bingung.
“Ini bukan salahmu, Nak. Gadis hanya takut.” Jawab wanita
itu tenang.
“Maaf, tapi saya hanya ingin minta maaf telah membuatnya
berada di sini Bu. Saya, benar-benar tidak menyangka kecelakaan ini akan
terjadi.” Ucapnya mengabaikan penjelasan wanita itu.
Sekali lagi, senyum terukir di wajah wanita tua itu. “Tentu
saja. Tadi Ibu sempat tengok kamu dan anakmu waktu kalian tak sadarkan diri.
Tak ada yang perlu disalahkan. Ibu yakin, kamu juga tak menginginkan hal ini
terjadi.”
“Sekali lagi terima kasih Bu, oh iya, segala biaya
pengobatan di sini saya yang tanggung, jadi Ibu tak usah memikirkan apapun
lagi.” Sambung Akhtar. Wajahnya menyiratkan kelegaan dengan terbukanya pintu
maaf dari wanita yang mungkin Ibunya sang gadis. Dia hendak pamit pergi sebelum
kemudian Ibunya bertanya lagi.
“Nak, tadi apakah kamu sempat menyentuh Gadis?” Akhtar mengernyit, oh jadi namanya Gadis. Dengan ragu ia mengangguk dan berucap,
“Sewaktu pingsan saya mengusap kepalanya Bu. Dan sedikit menggenggam tangannya.
Maafkan saya, itu saya merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya.
Tidak ada maksud lain. Sungguh.”
Wanita itu tergelak. “Ya. Ya Ibu tahu. Tapi Gadis itu
berbeda dengan wanita lainnya. Dia benar-benar tidak bisa berdekatan dengan
lawan jenisnya. Jadi kuharap kau maklum nak.” Jelasnya. “Lagipula. Kalian bukan
muhrim. Tidak sepantasnya seorang lelaki menyentuh perempuan yang belum halal
untuknya.” Ucapan Ibu itu menohok jantungnya. Dia tahu. Jelas. Karena dia
pernah menonton film “Ayat-ayat Cinta” dengan almarhum istrinya. Tapi dia tidak
menyangka bahwa akan bertemu dengan manusia jenis ini. Yang benar-benar taat
agamanya. Dengan sungkan Akhtar pamit. Keluar dengan tanda tanya besar di
otaknya.
Siapa Gadis itu?
Dan ada apa dengannya?
Segala macam pikiran berkelebatan di otaknya, meminta
jawaban atas rasa penasaran yang tiba-tiba membungkus isi kepalanya. Akhtar
mendesah. Dia berjalan menjauh dari ruangan Gadis dengan langkah gontai, hendak
bertemu Fadli kembali. Berharap anak lucunya dapat mengusir segala perasaan
yang tiba-tiba membuat dadanya sesak. Belum lagi di lorong rumah sakit Akhtar
kembali bertemu dengan dua gadis berkerudung yang menatapnya heran dan kasihan
(?). Membuat dia semakin merasa berdosa atas tingkahnya. Padahal selama ini dia
tidak pernah bermasalah menyentuh kulit wanita di sekelilingnya. Mengapa
sekarang dia merasa sangat bersalah?
***
BAB IV (Arini)
Tetesan embun perlahan turun dari serat-serat dedaunan hijau
menuju tanah, sebagian yang lain terangkat membentuk asap yang nantinya menjadi
sumber air hujan, mereka diangkat mentari yang perlahan menyapu gelap,
cahayanya menyinari benda-benda bumi, menyibaknya menjadi lebih berwarna,
kaca-kaca yang terkena sinarnya memantulkan silau yang membuat mata manusia sedikit
menyipit. Pagi ini, makhluk-makhluk bumi kembali menjalankan tugasnya. Mematuhi
perintah Illahi sambil bertasbih.
Seorang gadis tampak terburu-buru melangkahkan kakinya, tak
menghiraukan suasana sekitarnya. Jilbabnya bergoyang tersapu angin pagi yang
berhembus pelan. berkali-kali ia mengangkat tangan kirinya, melirik waktu yang
tertera pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul 08.15 . Dia
menghembuskan nafasnya, dan sedikit tersenyum. Masih ada waktu lima belas menit
lagi, pikirnya. Gadis itu, Arini tak mau membuang waktunya. Langkahnya
dipercepat, berharap segera sampai ke tempat yang ia tuju. Agar ia tak terlewat
satu detik pun untuk hadir di acara itu.
“Assalamu’alaikum ukhti.” Ujar seorang gadis berjilbab biru
sambil tersenyum. Arini membalasnya, jabat tangan dan cipika-cipiki sudah biasa
dilakukannya bila bertemu sesama teman halaqohnya itu, dengan gaya yang lembut
tentunya. Beda sekali ketika ia bertemu dengan Ghia sahabatnya. Walaupun Ghia
sama-sama berkerudung, sahabatnya itu tidak selembut teman-temannya yang lain.
Dia malah terkesan santai, tidak memiliki image muslimah lemah-lembut atau anggun seperti yang lain. Ghia memang lebih easy
going bila dibanding Arini, tak selalu ambil pusing masalah, tapi tetap bisa
membawa diri di setiap situasi yang ada. Dia tahu kapan waktunya tertawa,
bercanda dan serius di tempat yang berbeda. Dan keterus-terangannya akan
sesuatu selalu membuat Arini geleng-geleng kepala.
Pertemuannya dengan wanita berjilbab biru itu sudah
direncanakan sebelumnya, dia adalah salah satu teman di organisasinya. Sudah
menikah. Sekarang aktif menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin
pengajian-pengajian di kompleks rumahnya. Semenjak lulus kuliah dan menikah,
dia mengurangi aktivitasnya dalam berorganisasi, lebih fokus ke dalam
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dekat rumahnya, apalagi sekarang dia
sudah memiliki dua orang puteri, wanita itu harus lebih pintar memanage
waktunya agar posisinya sebagai, isteri, seorang ibu, dan pendakwah bisa
seimbang. Selain itu, ia juga merupakan
salah satu sahabat tempat Arini berkeluh kesah. Menceritakan segala masalah
yang tak dapat dia tampung sendiri, kemudian menyelesaikannya atas saran dari
Mbak Widya, tempat curhatnya.
Sudah satu bulan mereka tak bertemu karena kesibukan
masing-masing. Sekarang, dengan tiba-tiba Mbak Widya mengajak Arini bertemu
dengannya.
“Mbak, sebenarnya ada apa yah? Kok mendadak pengen ketemu?”
tanya Arini, mencoba mengenyahkan rasa penasarannya dengan menanyakan langsung
pada Widya.
“Kamu itu gimana sih? Gak kangen apa sama Mbak? Udah sebulan
gak ketemu langsung tembak aja, basa basi dulu kek!” kelakar Widya, memang
tidak biasanya Widya memaksa bertemu dengan Arini seperti itu. Istilahnya,
Ngebet gitu pengen ketemu. Gak mau dinanti-nanti. Semalam Arini di telepon
diminta untuk bertemu pagi ini. Dan itu harus. Gak boleh nolak.
“Yee. Mbak ! kemaren kayak penting banget, sekarang malah
becanda. Tentu aja Arini kangen sama Mbak, tapi kan masalahnya Mbak aneh banget
maksa-maksa pengen ketemu gitu, kayak lagi ngidam aja ah.”
“Haha. Iya iya. Sebenarnya gini loh, ehem ehem..”
“Loh, sariawan ya?”
“Hush. Engga. Jadi gini loh. Hm kamu ini kan sudah 22 tahun,
sudah pantas lah ya untuk berkeluarga, apalagi sidang skripsimu bulan depan,
bentar lagi wisuda. Istilahnya kamu tuh udah pas ya.”
“Iya, trus gimana Mbak?”
“Terus, semalam Mbak ngobrol sama suami, dan suami Mbak
cerita tentang temannya yang sudah ingin beristri.”
Lah…lah. Sepertinya Arini sudah bisa sedikit menebak arah
pembicaraan ini. Jangan-jangan…
“Nah, di acara bedah buku minggu lalu, temennya Suamiku itu
jadi pembicara di kampusmu, jadi ya itu. dia tertarik sama seseorang yang hadir
di acara tersebut. Dan kamu pasti tahu siapa perempuan itu.” Mbak Widya
mengakhiri pembicaraannya dengan tersenyum lebar sambil sedikit berkedip.
Kalau tidak salah sih bedah buku yang
hadir minggu lalu yang tentang membina rumah tangga itu ya. Itu doang kan ya.
Dan hm tunggu, yang jadi pembicaranya ada dua kan ya. Hm itu..
“Mbak. Jangan bilang aku mau dijadiin istri kedua?”
“Astaghfirulloh, Rin. Pikiranmu jangan macem-macem ah. Istri
kedua apa maksud kamu?”
“Ya, kan kemarin pembicaranya ada dua mbak, trus yang jadi
pembicara pertamanya udah beristri.”
“Trus pembicara kedua gimana?”
Arini mendongak. Sebenarnya hatinya sudah berbunga dari
tadi. Tapi dia tidak percaya diri menebak-nebak bahwa perempuan yang diinginkan
lelaki itu adalah dirinya. Jadilah dia mengira-ngira hal yang lain untuk
menetralisir hatinya. Pipinya menghangat, menyalurkan rasa bahagia pada
relung-relung hatinya.
“Hei, kok malah ngelamun.” Widya menepuk pundak Arini. “Jadi
gimana nih?”
“Hehe..” Arini hanya tersipu, bingung kalimat apa yang harus
dilontarkannya kepada Widya. Apa dia harus bilang kalau sebenarnya dia juga
sudah lama memendam rasa pada lelaki itu? ah itu memalukan. Atau dia harus
bilang lelaki itu ganteng, jadi dia mau menikah dengannya. Duh kesannya norak
banget. Tapi duh gimana ya. Jantung Arini kayak mau loncat-loncat.
“Ehm Mbak, sebaiknya kita ketemu dulu. Aku pengen berbicara
lebih jauh sebelum menuju ke jenjang berikutnya.”
Akhirnya, kalimat itulah yang dilontarkan Arini, dia sangat
ingin memastikan kalau sebenarnya ini kenyataan. Seperti Ali bin Abi Thalib dan
Siti Fatimah, Jatuh cinta dalam diam sampai saat dimana mereka menjadi halal
dan dapat mengungkapkan perasaannya masing-masing. Bersatu dalam jalinan cinta
yang dilandaskan pada Sang Pencipta. Bukankah kisah cinta merka mirip? Apakah
Arini benar-benar mengalami kisah cinta itu?
Ini benar-benar membuat hati Arini berbunga-bunga, ada
bunga melati, mawar, anggrek. Bisa deh
dijual kalau mau. Saking senangnya.
“Baiklah. Nanti Mbak bilang ke suami dan kita atur
pertemuannya ya.”
***
BERSAMBUNG....
kalau ada yang kebetulan baca blog ga terkenal ini, di koment yah hahaha :)))