Rabu, 18 September 2013

DIARY

Debu-debu beterbangan tak beraturan, namun tak kuasa melawan saat kusapu mereka dengan ijuk di genggamanku. kurapikan sampah-sampah yang tercecer tak beraturan di beberapa sudut kamarku. Sudah enam bulan lamarnya sejak terakhir kali kutata ulang kamarku dan kubersihkan isinya. Seperti yang diduga, debu-debu itu bersembunyai di setiap sudut yang tak terjangkau mata. Aku pun harus rela terbatuk ria menikmati butiran debu masuk ke hidungku dan menempel di pori-pori kulitku.
Kini , setelah lebih dari 30 menit aku bergulat dengan para debu, kupandangi kamarku kurapikan buku-buku dan kususun kembali ke tempatnya. Buku-buku referensi yang kugunakan sebagai bahan tugas kuliah, beberapa buah novel yang sempat membuatku terpana, dan komik-komik yang kukoleksi saat masih duduk di bangku SMP dulu kini berjejer rapi. Dan saat itulah kenangan itu muncul kembali, aku melihat sebuah buku Diary usang yang dulu kuisi bersama teman sebangku ku saat kelas 2 SMP. Perlahan kubuka Diary berwarna coklat bergambar beruang itu, tulisan antara dua orang sahabat yang membuatku sedikit kegelian karena bahasanya yang khas anak abege yang baru puber. Ababil kalau kata orang-orang zaman sekarang. Di dalam Diary itu kami sering curhat dan saling memberi solusi, walaupun tidak benar-benar berbentuk solusi.
"Rin, aku suka deh sama si Doni.." kata temanku Nita dalam Diary itu. dia menceritakan cinta monyet pertamanya itu padaku. Dan akupun melakukan hal yang sama. Aku juga menyukai lelaki bernama Doni itu, yang saat kuingat-ingat kembali aku lupa wajahnya.
Lembar demi lembar  kubuka halaman Diary itu, sampai akhir halaman, aku mengingat kembali janji kami. Kami bertukar nomor telepon rumah agar saat kami berpisah kami tetap saling mengingat. Setelah kelulusan SMP, kami memang sudah jarang kontak dan hingga saat ini kami benar-benar tidak pernah saling berhubungan lagi. Mengingat masa-masa manis dengan Nita aku memutuskan untuk menelponnya, mencoba menghubungi nomor yang mungkin sudah tidak bisa dipakai lagi. Tapi kupikir, apa salahnya mencoba.
Aku memijit angka-angka yang tertulis di Diary itu, dan.. tersambung. Tak lama setelah itu aku mendengar sebuah suara di sana.
"Halo. bisa bicara dengan Nita?" sapaku kepada sebuah suara di sana. Suara wanita yang terdengar seperti ibuku menyahut, mengisyaratkan pertanda bahwa dia tak ingin mendengar perkataan itu. Lama kutunggu jawabannya. Namun kemudian dia berucap "Nita sudah meninggal," kata suara itu. Aku mematung, sisa debu di diary itu kembali menusuk hidungku. Nafasku sesak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar